Pengarang: H.M Madchan Anies
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan: I, Februari 2009
Tebal: xii-180
Siapa yang tidak kenal dengan
istilah tahlilan. Tentunya setiap muslim di indonesia pasti tahu terhadapnya.
Istilah yang juga dikenal dengan kenduri ini merupakan serapan dari kata tahlilan,
bentuk jamak taksir dari kata hallala dalam bahasa arab yang
memiliki arti membaca kalimat la ilaha illallah. Sedangkan dalam kamus
besar bahasa indonesia istilah tahlilan adalah tradisi yang telah turun temurun
dari nenek moyang dan masih tetap di jalankan dalam masyarakat.
Tahlil adalah sebuah tradisi yang
dilakukan masyarakat untuk mendoakan orang yang sudah meninggal, menempati
rumah baru, dan lainya. Tahlilan sebenarnya merupakan penjelmaan dari niatan
baik sahibul hajjah (yang berhajat atau keperluan) untuk memohon
pertolongan kepada Allah. Oleh karenanya, kemudian mengundang masyarakat untuk
bersama-sama berdzikir kepadaNya. Setelah rangkaian acara selesai, kemudian sahibul
hajjah membagi-bagikan makanan (berkat) dengan niatan bersedekah.
Sebagai sebuah tradisi yang telah
mengarungi belantara waktu tentunya tak lepas dari kritik dan tanggapan. Pro
dan kontra merupakan hal yang cukup lumrah yang mewarnai masalah ini. Ada yang
berpendapat bahwa tahlilan merupakan perbuatan bid’ah, dan ada pula yang
menanggapinya dengan positif dan menganggap tradisi ini sah-sah saja untuk
dikerjakan.
Tidak ada yang tahu pasti sejak
kapan tradisi ini dimulai. Yang jelas berdasarkan beberapa tulisan, dapat
diketahui bahwa tahlilan diadopsi dari budaya masyarakat sebelum Islam. Mungkin
di sinilah pangkal dari perdebatan yang tak kunjung usai ini. Walaupun
demikian, terlepas dari pro dan kontra, nampaknya tradi tahlilan telah menyatu
dan membumi dalam kehidupan masyarakat muslim Indonesia, khusunya kalangan
muslim “tradisional”.
Berangkat dari pro dan kontra
yang kerap kali meruncing inilah Madchan Anies dalam buku mungilnya Tradisi
Tahlil dan Kenduri (Tradisi Santri dan Kiai), mencoba untuk menengahi
perdebatan antara kedua kubu tersebut. Karena sesungguhnya hidup akan lebih
bermakna apabila dalam menanggapi sesuatu adalah dengan berbesar hati.
Dalam buku tersebut dapat
dipahami bahwa sebenarnya terdapat banyak sekali faedah yang terkandung dalam
tradisi tahlilan. Terlebih dalam mempererat hubungan sosial dengan tetangga.
Karena dalam memenuhi undangan tahlilan, orang-orang berkumpul dalam satu
tempat sehingga mereka dapat dengan mudahnya bertegur sapa dengan sesama,
antara si miskin dan si kaya tanpa adanya sekat.
Buku mungil tersebut juga menegaskan
bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dengan tahlilan. Acara tahlilan adalah
bersikan pujian dan zikir-zikir kepada allah. Sedangkan orang yang banyak
berdzikir dijanjikan ampunan dan pahala oleh allah seperti termaktub dalam
kitabnya Q.S. al-ahzab ayat 35 (halaman 28).
Dalam sebuah riwayat juga
disebutkan bahwa “ketika Rasul SAW lewat dalam sebuah kuburan beliau kemudian
menghampirinya dan menancapkan ranting pohon di atas kuburan tersebut. Para
sahabat kemudian bertanya mengenai hal itu. Rasul kemudian menjawab bahwa orang
dalam kuburan tersebut sedang disiksa karena perbuatannya, dan ranting yang aku
tancapkan itu akan meringankan siksaannya”.
Riwayat diatas memberi penegasan
kepada kita bahwa rasul pun mendoakan terhadap orang yang sudah meninggal.
Memang benar Rasulullah SAW tidak pernah melakukan tahlilan. Tetapi apakah
rasul juga pernah melarang suatu perbuatan baik (berdasarkan niat yang baik) serta
tidak bertolak belakang dengan ajaran Islam. Tahlilan adalah bentuk niatan baik
dari sahibul hajjah, dan setiap
perbuatan baik (artinya tidak bertolak belakang dengan ajaran Islam) yang
dilakukan dengan keikhlasan pastilah akan mendapatkan pahala yang sangat besar.
Hal ini cukup rasanya untuk
dijadikan bahan renungan bagi kita agar tidak saling menyerang dan menyalahkan
pendapat antar sesama muslim. Karena masing-masing memiliki dalil dan pijakan
yang kuat dalam menetapkan suatu hukum. Malu rasanya apabila kita sesama muslim
yang seharusnya menjadi saudara (al-muslimu akhu al-muslim) saling
menyerang dan menyalahkan seakan-akan kita lebih pintar dari yang maha pintar
dan lebih tahu dari yang maha tahu.
Selebihnya, buku mungil ini
bukanlah bertujuan untuk mengungkit-ngungkit polemik dan perdebatan yang
terjadi, bukan untuk memanaskan suasana dengan menyerang kelompok yang kontra
dengan tahlilal, dan bukan pula digunakan untuk menunjukan bahwa mereka yang
pro dan melakukan praktik tahlilan memiliki dalil dan dasar syar’i. Tetapi,
lebih pada untuk menjernihkan suasana dan menghapuskan perselisihan yang kerap
kalei meruncing tersebut.
Sebagi orang yang dipilih Allah untuk
memiliki keluasan pengetahuan hendaknya kita meniru ilmu padi. Yakni semakin
berisi semakin merunduk. Artinya, janganlah menyalah gunakan keluasan ilmu yang
dimiliki untuk menyerang dan menyalahkan sesama. Tetepi, dipergunakan untuk
kebaikan dan kemaslahatan bersama. Seperti yang sering dikatakan orang tua,
“ilmu itu pantang digunakan untuk saling menyerang, ilmu itu pantang untuk
dibuat gagah-gagahan”. Akhirnya, dengan menggunakan penuturan dan gaya bahasa
yang ringan sehingga mudah untuk dipahami, cocok rasanya buku mungil ini untuk
dijadikan sebagai tambahan koleksi pustaka serta dijadikan sebagai referensi
untuk memperluas khazanah pengetahuan kita.
0 Comments:
Post a Comment