Tuesday 15 January 2019

Resensiku; Tradisi Itu Bernama Tahlil

Judul Buku: Tahlil dan kenduri (Tradisi Santri dan Kiai)
Pengarang: H.M Madchan Anies
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan: I, Februari 2009
Tebal: xii-180

Siapa yang tidak kenal dengan istilah tahlilan. Tentunya setiap muslim di indonesia pasti tahu terhadapnya. Istilah yang juga dikenal dengan kenduri ini merupakan serapan dari kata tahlilan, bentuk jamak taksir dari kata hallala dalam bahasa arab yang memiliki arti membaca kalimat la ilaha illallah. Sedangkan dalam kamus besar bahasa indonesia istilah tahlilan adalah tradisi yang telah turun temurun dari nenek moyang dan masih tetap di jalankan dalam masyarakat.
Tahlil adalah sebuah tradisi yang dilakukan masyarakat untuk mendoakan orang yang sudah meninggal, menempati rumah baru, dan lainya. Tahlilan sebenarnya merupakan penjelmaan dari niatan baik sahibul hajjah (yang berhajat atau keperluan) untuk memohon pertolongan kepada Allah. Oleh karenanya, kemudian mengundang masyarakat untuk bersama-sama berdzikir kepadaNya. Setelah rangkaian acara selesai, kemudian sahibul hajjah membagi-bagikan makanan (berkat) dengan niatan bersedekah.
Sebagai sebuah tradisi yang telah mengarungi belantara waktu tentunya tak lepas dari kritik dan tanggapan. Pro dan kontra merupakan hal yang cukup lumrah yang mewarnai masalah ini. Ada yang berpendapat bahwa tahlilan merupakan perbuatan bid’ah, dan ada pula yang menanggapinya dengan positif dan menganggap tradisi ini sah-sah saja untuk dikerjakan.
Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan tradisi ini dimulai. Yang jelas berdasarkan beberapa tulisan, dapat diketahui bahwa tahlilan diadopsi dari budaya masyarakat sebelum Islam. Mungkin di sinilah pangkal dari perdebatan yang tak kunjung usai ini. Walaupun demikian, terlepas dari pro dan kontra, nampaknya tradi tahlilan telah menyatu dan membumi dalam kehidupan masyarakat muslim Indonesia, khusunya kalangan muslim “tradisional”.
Berangkat dari pro dan kontra yang kerap kali meruncing inilah Madchan Anies dalam buku mungilnya Tradisi Tahlil dan Kenduri (Tradisi Santri dan Kiai), mencoba untuk menengahi perdebatan antara kedua kubu tersebut. Karena sesungguhnya hidup akan lebih bermakna apabila dalam menanggapi sesuatu adalah dengan berbesar hati.
Dalam buku tersebut dapat dipahami bahwa sebenarnya terdapat banyak sekali faedah yang terkandung dalam tradisi tahlilan. Terlebih dalam mempererat hubungan sosial dengan tetangga. Karena dalam memenuhi undangan tahlilan, orang-orang berkumpul dalam satu tempat sehingga mereka dapat dengan mudahnya bertegur sapa dengan sesama, antara si miskin dan si kaya tanpa adanya sekat.
Buku mungil tersebut juga menegaskan bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dengan tahlilan. Acara tahlilan adalah bersikan pujian dan zikir-zikir kepada allah. Sedangkan orang yang banyak berdzikir dijanjikan ampunan dan pahala oleh allah seperti termaktub dalam kitabnya Q.S. al-ahzab ayat 35 (halaman 28).
Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa “ketika Rasul SAW lewat dalam sebuah kuburan beliau kemudian menghampirinya dan menancapkan ranting pohon di atas kuburan tersebut. Para sahabat kemudian bertanya mengenai hal itu. Rasul kemudian menjawab bahwa orang dalam kuburan tersebut sedang disiksa karena perbuatannya, dan ranting yang aku tancapkan itu akan meringankan siksaannya”.
Riwayat diatas memberi penegasan kepada kita bahwa rasul pun mendoakan terhadap orang yang sudah meninggal. Memang benar Rasulullah SAW tidak pernah melakukan tahlilan. Tetapi apakah rasul juga pernah melarang suatu perbuatan baik (berdasarkan niat yang baik) serta tidak bertolak belakang dengan ajaran Islam. Tahlilan adalah bentuk niatan baik dari sahibul hajjah, dan  setiap perbuatan baik (artinya tidak bertolak belakang dengan ajaran Islam) yang dilakukan dengan keikhlasan pastilah akan mendapatkan pahala yang sangat besar.
Hal ini cukup rasanya untuk dijadikan bahan renungan bagi kita agar tidak saling menyerang dan menyalahkan pendapat antar sesama muslim. Karena masing-masing memiliki dalil dan pijakan yang kuat dalam menetapkan suatu hukum. Malu rasanya apabila kita sesama muslim yang seharusnya menjadi saudara (al-muslimu akhu al-muslim) saling menyerang dan menyalahkan seakan-akan kita lebih pintar dari yang maha pintar dan lebih tahu dari yang maha tahu.
Selebihnya, buku mungil ini bukanlah bertujuan untuk mengungkit-ngungkit polemik dan perdebatan yang terjadi, bukan untuk memanaskan suasana dengan menyerang kelompok yang kontra dengan tahlilal, dan bukan pula digunakan untuk menunjukan bahwa mereka yang pro dan melakukan praktik tahlilan memiliki dalil dan dasar syar’i. Tetapi, lebih pada untuk menjernihkan suasana dan menghapuskan perselisihan yang kerap kalei meruncing tersebut.
Sebagi orang yang dipilih Allah untuk memiliki keluasan pengetahuan hendaknya kita meniru ilmu padi. Yakni semakin berisi semakin merunduk. Artinya, janganlah menyalah gunakan keluasan ilmu yang dimiliki untuk menyerang dan menyalahkan sesama. Tetepi, dipergunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama. Seperti yang sering dikatakan orang tua, “ilmu itu pantang digunakan untuk saling menyerang, ilmu itu pantang untuk dibuat gagah-gagahan”. Akhirnya, dengan menggunakan penuturan dan gaya bahasa yang ringan sehingga mudah untuk dipahami, cocok rasanya buku mungil ini untuk dijadikan sebagai tambahan koleksi pustaka serta dijadikan sebagai referensi untuk memperluas khazanah pengetahuan kita.

0 Comments:

blogger templates | Make Money Online