Thursday 31 January 2019

Resensiku; Segitiga Kunci Meraih Sukses


Judul Buku: Life Success Triangle
Pengarang: Eloy Zalukhu
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: April 2015
Tebal: 287 halaman
ISBN: 978-602-03-1661-1

Meraih kesuksesan merupakan tujuan atau impian yang ingin dicapai oleh setiap orang di belahan bumi manapun. Baik itu petani di sawah, pedagang di pasar, nelayan di laut, hingga pengusaha yang berkantor megah berkeinginan untuk memperoleh kesuksesan. Bagi seorang petani misalnya, ingin agar sawah yang digarapnya menghasilkan panen berlimpah, sementara seorang pengusaha, bercita-cita agar perusahaan yang dipimpinnya mampu menembus pasar internasional. Namun demikian, dewasa ini, seringkali yang menjadi tolok ukur kesuksesan hanya terbatas pada tiga hal, yakni kekuasaan, uang, dan popularitas.
Karena itu, melalui buku ini, Eloy Zalukhu menyajikan cara pandang lain bagi pembaca dalam memaknai “apa itu sukses?”. Ketiga unsur di atas (kekuasaan, uang, dan popularitas) pada dasarnya adalah baik, tetapi bukan sukses itu sendiri. Menurutnya, sukses utamanya bukan tentang seberapa banyak uang yang didapatkan, melainkan sukses adalah ketika kita setia melakukan yang terbaik sesuai bakat dan talenta yang Tuhan percayakan. Bahwa kemudian kita mendapatkan uang, ketenaran, dan jabatan, itu adalah buah dari ketekunan kita (hlm. 30).
Buku setebal 287 halaman ini menyebutkan bahwa terdapat tiga prinsip dasar yang perlu diperhatikan sebagai kunci untuk meraih “kesuksesan”. Pertama, Personal Mastery, yakni kemampuan mengenal, mengelola, dan mengarahkan diri. Dalam hal ini, menyikapi positif terhadap suatu persoalan menjadi faktor kunci untuk meraih hasil terbaik. Poin pertama ini juga dapat disebut sebagai kemampuan untuk memotivasi diri (self motivation).
Kedua, Interpersonal Mastery, yakni kemampuan membangun hubungan baik dan kerja sama dengan orang lain (teamwork). Tidak ada individu yang pernah mencapai kesuksesan besar seorang diri. Kepercayaan bahwa satu orang dapat menghasilkan karya besar seorang diri adalah kemustahilan (hlm. 226). Ketiga, Leadership Mastery, yakni kemampuan merencanakan, memulai, dan mengelola perubahan yang didukung oleh keterampilan memimpin orang lain untuk mencapai suatu visi dengan hasil terbaik. Ketiga prinsip dasar inilah yang di dalam buku disebut sebagai “tiga sudut kesuksesan sejati.”
Yang menjadikan buku ini semakin menarik adalah penempatan Tuhan sebagai sumber dari kesuksesan itu sendiri. Manusia memang memiliki potensi untuk meraih sukses, tetapi dibalik semua itu Tuhan-lah yang menganugerahkan potensi tersebut. Tuhan adalah pusat seluruh aspek keberadaan hidup manusia (hlm. 167). Tanpa adanya kesadaran ini, maka “tiga sudut kesuksesan sejati” akan kehilangan esensinya.
Selebihnya, buku yang terdiri dari 25 chapter ini mampu men-charge asupan gizi sebagai bekal kita untuk meraih “kesuksesan.” Tidak hanya itu, kemasan kalimat yang mudah dicerna serta dilengkapi dengan ilustrasi gambar menjadikan buku ini semakin menarik untuk dibaca. Sebagai komentar, membaca buku ini sepertihalnya menemukan sebuah peti tua yang menyimpan harta karun. Selamat membaca.

Saturday 19 January 2019

Resensiku; Ketika Jules Verne Berkisah Misteri Kastel Berhantu

Judul Buku: The Castle of The Carpathians
Penulis: Jules Gabriel Verne
Penerbit: Qanita, Bandung
Cetakan: Pertama, Juni 2017
Tebal: 246 Halaman
ISBN: 978-602-402-074-3

Bernama lengkap Jules Gabriel Verne (08 Februari 1828 – 24 Maret 1905), ia dikenal sebagai novelis yang merintis genre novel fiksi ilmiah. Di antara karya-karyanya yang terkenal dan masih dibaca serta diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa hingga saat ini adalah Twenty Thousand Leagues Under The Sea (1870), dan Around The World in Eighty Days (1873). Bahkan judul yang terakhir sempat difilmkan pada 2004, dibintangi oleh aktor laga ternama Jackie Chan.
Karya-karya fiksi ilmiah Verne memang berkisah petualangan ajaib dengan teknologi canggih yang melampaui masanya, semisal perjalanan menuju perut bumi, laut dalam, hingga petualangan di udara, bahkan sebelum pesawat terbang maupun kapal selam itu sendiri diciptakan. Karena karya-karyanya itulah Verne kemudian dinobatkan sebagai “Bapak Fiksi Ilmiah.” Meski demikian, di antara karyanya, rupanya ada juga yang menampilkan wajah lain budaya sebagian masyarakat Eropa yang kental dengan nuansa tahayul, berjudul The Castle of The Carphatians, novel yang konon menginspirasi Bram Stoker menulis Dracula. Berlatar desa kecil bernama Werst, bagian dari Transylvania, Verne mengisahkan kehidupan masyarakat yang begitu terbelakang sekaligus sangat percaya dengan tahayul.
Secara garis besar, novel tersebut bercerita tentang Kastel Charpatians yang dikenal angker oleh penduduk setempat. Konon, bagunan yang berdiri sejak abad kedua belas atau tiga belas itu milik para baron Gortz. Namun kastel tua itu tidak lagi terurus semenjak ditinggal oleh tuan tanah terakhirnya Baron Rodolphe de Gortz. Tak banyak informasi perihal keberadaan sang Baron, selain rumor yang mengatakan bahwa ia tewas dalam pengembaraannya.
Kisah bermula dari temuan Frik, salah seorang penggembala yang juga dipercaya sebagai cenayang oleh penduduk Werst, yang melihat asap keluar dari bangunan tua tak berpenghuni itu. Seketika Werst menjadi gaduh, karena para penduduk percaya bahwa hantu dan monster telah menjadikan kastel itu sebagai hunian. “Tangan! –mungkin mungkin cakar!” ucap salah seorang penduduk mencoba menebak-nebak siapa (apa) yang menyalakan api sebagai muasal asap di kastel itu.
Master Koltz, pemimpin desa, serta para penduduk akhirnya mengadakan pertemuan untuk mendiskuskan perihal tindakan apa yang harus diambil, sebab hal itu mengancam masa depan desa terpencil tersebut. Bayangkan saja, pelancong mana yang berkenan singgah ke tempat yang dihuni monster dan hantu? Jika tidak ada turis, maka pemasukan pajak pun dapat berkurang secara drastis. “Mungkin kita perlu – pergi kesana, tuan, dan melihat” usul Frik akhirnya pada pertemuan itu. Tentu saja tidak satupun penduduk yang berani menyanggupi usulan itu.
Nic Deck, pengawas hutan yang pemberani, secara sukarela menawarkan diri mendatangi kastel angker tersebut untuk mengungkap misteri tersebut. Namun alih-alih berhasil menyingkap misteri kastel Charpatians, Nic Deck yang ditemani Dokter Patak justru kembali dengan penuh luka dan trauma akan kengerian yang ditimbulkan iblis penghuni kastel tersebut. Sehingga datang seorang pengembara bernama Count Franz de Telek yang tertarik menyelidiki, mendatangi, dan mengungkap rahasia kastel angker tersebut.
Terlepas dari plot misteri yang disusun secara apik serta menegangkan, Verne tetaplah “seorang rasionalis.” Sikap rasional tersebut senantiasa tercermin di dalam karya-karyanya, termasuk The Castle of The Carphatians. Sebagai contoh, jika diperhatikan dengan seksama, sajian potret budaya masyarakat Transylvania yang begitu percaya tahayul, justru terkesan sebagai sindiran bahkan representasi ketertinggalan peradaban. Ungkapan sarkas seperti “Apa! Seorang dokter di Werst, padahal desa itu masih memercayai hal-hal mistis?” (hlm. 49), “tak seorang pun berani mengambil risiko keluar rumah bahkan sekedar untuk bekerja di ladang. Benarkah pukulan sekop sesedikit apapun bisa mengundang penampakan hantu yang terkubur di tanah?” (hlm. 121), dapat ditemui dengan mudah oleh pembaca dalam lembar novel. Verne dalam novel tersebut nampak sedang membuat konstruksi pemaknaan bahwa mustahil peradaban yang maju tumbuh di tengah-tengah masyarakat klenik. Keyakinan terhadap tahayul menjadikan individu ataupun komunitas terkungkung dan tidak produktif.
Verne yang seorang “Bapak Fiksi Ilmiah” seakan membuat pernyataan bahwa munculnya legenda dan tahayul adalah sebagai akibat dari kebodohan menyikapi fenomena alamiah. Kebodohan masyarakat Werst terhadap teknologi menjadikan mereka dapat dengan mudah dikelabui. Ketidaktahuan tersebut pada akhirnya melahirkan rasa takut di dalam diri mereka atas apa yang tidak diketahuinya. Hal ini dapat pembaca temukan pada bagian akhir novel yang memuat penjelasan rasional-ilmiah atas fenomena mistis yang meneror masyarakat desa Werst. Verne menceriterakan bahwa sosok cahaya dan “hantu” wanita di dalam kastel Carphatians tidak lain sekedar merupakan ilusi optik yang sengaja dibuat untuk menakut-nakuti penduduk Werst agar tidak mendekati kastel tersebut.
Lebih lanjut, tidak hanya memiliki kekuatan pada narasi dan plot, kelebihan lain novel yang pertama kali diterbitkan pada 1893 ini juga terletak pada suasana. Deskripsi tentang keindahan alam perbukitan Transylvania, lembah Vulkan, dan sungai Nyad terasa begitu hidup seakan pembaca sedang melihatnya sendiri. Meminjam istilah Ignas Kleden, dalam novel ini “suasana” bercerita tanpa bantuan pengarang dan bahkan tanpa bantuan cerita. Kepiawaian Verne dalam menyusun narasi dengan menyertakan “kisah lucu” juga semakin memberi nilai lebih pada novel, yang menjadikan pembaca tidak merasa bosan saat membaca.

Tulisan ini dimuat di harian online Depok Pos pada 16 Januari 2019

Wednesday 16 January 2019

Resensiku; Menuju Insan Kamil; Sebuah Langkah Awal

Judul Buku:Hidup Lebih Bermakna
Pengarang: Muhammad Zuhri
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: 1, Agustus 2007
Tebal: 240 halaman

Islam mengajarkan kepada umatnya agar selalu mengawali lembaran hari-harinya dengan membaca basmalah. Basmalah dibaca oleh umat islam setiap memulai perbuatannya –terlepas dari besar-kecilnya atau penting-tidak pentingnya perbuatan tersebut dan bersifat maslahat–. Sebelum makan, minum, berpakaian, bepergian, membaca kitab suci al-qur’an, menulis dan lain sebagainya. Basmalah, Bismillahi ar-rahmani ar-rahimi, (dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya untuk mengawali segala perbuatan maslahat dengan basmalah, sehingga Allah beserta Rasul-Nya mengajarkan demikian. Mengapa demikian? Apa sebenarnya makna filosofis yang terkandung di dalamnnya? Mengapa kita orang-orang muslim membacanya di setiap awal perbuatan yang sifatnya maslahat?
Pak Muh, demikian Muhammad Zuhri akrab disapa, penulis buku monumental Mencari Nama Allah Yang Keseratus yang diterbitkan oleh Serambi ini mengajak kita dalam karyanya teranyarnya yang berjudul Hidup Lebih Bermakna (yang juga diterbitkan oleh penerbit Serambi) untuk “berlayar” mengarungi luasnya samudera basmalah. Dalam karya teranyarnya ini, beliau memaparkan dengan panjang lebar betapa dalamnya makna kalimat basmalah. Hal ini menunjukkan kepada kita betapa luasnya ilmu Allah. 
Basmalah, mengenalkan kepada kita beberapa nama tuhan, yakni Allah, Ar-Rahman, dan Ar-Rahim, jelas pak Muh. Allah yang maha ghaib yang tidak dapat dilihat wujudnya. Allah yang maha ghaib yang bahkan Musa pun tidak dapat melihatnya. Allah yang maha ghaib  yang tidak dapat digambarkan wujudnya oleh akal dan fikiran manusia karena keterbatasan kita sebagai umat manusia.
Maka, untuk mengenal Allah haruslah terlebih dahulu mengenal sifat-sifat-Nya yang dapat diwujudkan. Sifat Allah yang dapat diwujudkan dimulai dari sifat Ar-Rahman; bahwa alam besrta isi dan potensi yang terdapat di dalamnya, keberadaannya dikarenakan pancaran dari sifat rahmaniyyah Allah. Muhammad Zuhri menempatkan  sifat ar-Rahman disini sebagai sifat al-awwal Allah.
Tentunya sebelum diciptakannya dunia, yang ada hanyalah Allah dan ketiadaan, jelas Muhammad Zuhri. Karena pancaran dari sifat rahmaniyyah Allahlah kemudian ketiadaan itu menjadi ada. Allah kemudian menciptakan alam semesta raya ini dengan qudrat-iradatnya. Matahari, bumi, air, udara, gas, terlebih dahulu diciptakan oleh Allah. Barulah kemudian allah menciptakan kehidupan di jagadraya ini, mulai dari tumbuhan-tumbuhan, hewan, dan manusia.
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Allah yang paling sempurna daripada yang lainnya. Manusia diberi kelebihan oleh Allah berupa akal sehingga manusia memiliki daya cipta (kreatifitas). Dengan akalnya manusia mampu menciptakan alat dan sarana untuk mempermudah kehidupannya.
Selanjutnya, sifat allah yang dapat diwujudkan adalah sifat ar-Rahim atau sifat al-akhir. Muhammad Zuhri menegaskan bahwa Allah akan memberikan karunia rahimiyyah-Nya apabila manusia sanggup mengemban karunia Allah yang berasal dari sifat rahmaniyyah-Nya. Muhammad Zuhri mencontohkannya dengan “mata”. Manusia diberi indra berupa mata, kemudian mata tersebut digunakan untuk membaca –tidak hanya membaca teks tetapi juga membaca tanda-tanda Allah selain teks– sehingga dengan membaca tersebut manusia memperoleh nilai-nilai yang bisa digunakan untuk menemukan makna hidup serta mendapatkan ilmu dan pengalaman yang bermanfaat bagi kehidupannya.
Sebaliknya, apabila manusia menyianyiakan karunia rahmaniyyah Allah, maka azab-Nyalah yang kemudian diturunkan. Seperti dalam QS: Ibrahim: 7: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat besar.   
Muhammad Zuhri juga menganalogikan sifat al-Awwal dan al-Akhir Allah ini dengan proses penciptaan semesta raya ini. al-Awwal adalah masa di mana yang ada hanyalah allah dan ketiadaan yang kemudian allah menciptakan semesta beserta isi di dalamnya adalah untuk menuju yang akhir (al-Akhir). Sedangkan kita hidup di dunia ini berada pada tengah-tengah bermilyar-milyar tahun setelah penciptaan dunia. Namun kehidupan manusia di dunia ini hanyalah beberapa puluh tahun dan manusia akan mati. Setelah manusia mati dunia akan menjadi gelap kembali selama bermilyar-milyar tahun pula menunggu hari akhir (kiamat). “Kehidupan manusia di dunia bagaikan kilatan sinar di antara dua kegelapan”, itulah yang dikatakan muhammad zuhri untuk melukiskan masa kehidupan manusia di dunia ini.
Singkatnya, Muhammad Zuhri menyampaikan kepada semua pembaca bahwa ar-Rahman atau al-Awwal merupakan sifat kemurahan tuhan (yang memberikan kepada kita semua fasilitas), dan ar-Rahim atau al-Akhir merupakan sifat kasih sayang tuhan (balasan berupa kenikmatan), apabila mampu mengemban amanah atau fasilitas-fasilitas yang diberikan kepada kita.  
Sangatlah tepat rasanya Muhammad Zuhri menempatkan basmalah sebagai pembuka karya teranyarnya tersebut. Dengan menjelajahi luasnya samudera basmalah  kita dapat mengenal siapa sebenarnya diri kita ini. Apalah hebatnya kita manusia tanpa kasih sayang-Nya?. Dan dengan memahami samudera basmalah, kita telah memulai langkah kita untuk menuju insan kamil. Dan setelah memahami semua itu pula, satu-satunya harapan kita adalah agar bagaimana kita hidup di dunia ini lebih bermakna. Buku yang ditulis dengan gaya bahasa yang mudah dicerna ini berupaya untuk membangunkan jiwa kita yang hanya melakukan rutinitas keberagamaan yang stagnan.
Akhirnya, buku yang disusun semenarik mungkin ini sangatlah cocok untuk dijadikan tambahan koleksi bacaan kita. Pembaca tidak akan pernah bosan tatkala membacanya, bahkan para pembaca akan merasakan ketenangan batin tersendiri ketika sedang membacanya. Dan pada akhirnya akan merindukan setiap kata dalam buku ini.

Tuesday 15 January 2019

Resensiku; Tradisi Itu Bernama Tahlil

Judul Buku: Tahlil dan kenduri (Tradisi Santri dan Kiai)
Pengarang: H.M Madchan Anies
Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan: I, Februari 2009
Tebal: xii-180

Siapa yang tidak kenal dengan istilah tahlilan. Tentunya setiap muslim di indonesia pasti tahu terhadapnya. Istilah yang juga dikenal dengan kenduri ini merupakan serapan dari kata tahlilan, bentuk jamak taksir dari kata hallala dalam bahasa arab yang memiliki arti membaca kalimat la ilaha illallah. Sedangkan dalam kamus besar bahasa indonesia istilah tahlilan adalah tradisi yang telah turun temurun dari nenek moyang dan masih tetap di jalankan dalam masyarakat.
Tahlil adalah sebuah tradisi yang dilakukan masyarakat untuk mendoakan orang yang sudah meninggal, menempati rumah baru, dan lainya. Tahlilan sebenarnya merupakan penjelmaan dari niatan baik sahibul hajjah (yang berhajat atau keperluan) untuk memohon pertolongan kepada Allah. Oleh karenanya, kemudian mengundang masyarakat untuk bersama-sama berdzikir kepadaNya. Setelah rangkaian acara selesai, kemudian sahibul hajjah membagi-bagikan makanan (berkat) dengan niatan bersedekah.
Sebagai sebuah tradisi yang telah mengarungi belantara waktu tentunya tak lepas dari kritik dan tanggapan. Pro dan kontra merupakan hal yang cukup lumrah yang mewarnai masalah ini. Ada yang berpendapat bahwa tahlilan merupakan perbuatan bid’ah, dan ada pula yang menanggapinya dengan positif dan menganggap tradisi ini sah-sah saja untuk dikerjakan.
Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan tradisi ini dimulai. Yang jelas berdasarkan beberapa tulisan, dapat diketahui bahwa tahlilan diadopsi dari budaya masyarakat sebelum Islam. Mungkin di sinilah pangkal dari perdebatan yang tak kunjung usai ini. Walaupun demikian, terlepas dari pro dan kontra, nampaknya tradi tahlilan telah menyatu dan membumi dalam kehidupan masyarakat muslim Indonesia, khusunya kalangan muslim “tradisional”.
Berangkat dari pro dan kontra yang kerap kali meruncing inilah Madchan Anies dalam buku mungilnya Tradisi Tahlil dan Kenduri (Tradisi Santri dan Kiai), mencoba untuk menengahi perdebatan antara kedua kubu tersebut. Karena sesungguhnya hidup akan lebih bermakna apabila dalam menanggapi sesuatu adalah dengan berbesar hati.
Dalam buku tersebut dapat dipahami bahwa sebenarnya terdapat banyak sekali faedah yang terkandung dalam tradisi tahlilan. Terlebih dalam mempererat hubungan sosial dengan tetangga. Karena dalam memenuhi undangan tahlilan, orang-orang berkumpul dalam satu tempat sehingga mereka dapat dengan mudahnya bertegur sapa dengan sesama, antara si miskin dan si kaya tanpa adanya sekat.
Buku mungil tersebut juga menegaskan bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dengan tahlilan. Acara tahlilan adalah bersikan pujian dan zikir-zikir kepada allah. Sedangkan orang yang banyak berdzikir dijanjikan ampunan dan pahala oleh allah seperti termaktub dalam kitabnya Q.S. al-ahzab ayat 35 (halaman 28).
Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa “ketika Rasul SAW lewat dalam sebuah kuburan beliau kemudian menghampirinya dan menancapkan ranting pohon di atas kuburan tersebut. Para sahabat kemudian bertanya mengenai hal itu. Rasul kemudian menjawab bahwa orang dalam kuburan tersebut sedang disiksa karena perbuatannya, dan ranting yang aku tancapkan itu akan meringankan siksaannya”.
Riwayat diatas memberi penegasan kepada kita bahwa rasul pun mendoakan terhadap orang yang sudah meninggal. Memang benar Rasulullah SAW tidak pernah melakukan tahlilan. Tetapi apakah rasul juga pernah melarang suatu perbuatan baik (berdasarkan niat yang baik) serta tidak bertolak belakang dengan ajaran Islam. Tahlilan adalah bentuk niatan baik dari sahibul hajjah, dan  setiap perbuatan baik (artinya tidak bertolak belakang dengan ajaran Islam) yang dilakukan dengan keikhlasan pastilah akan mendapatkan pahala yang sangat besar.
Hal ini cukup rasanya untuk dijadikan bahan renungan bagi kita agar tidak saling menyerang dan menyalahkan pendapat antar sesama muslim. Karena masing-masing memiliki dalil dan pijakan yang kuat dalam menetapkan suatu hukum. Malu rasanya apabila kita sesama muslim yang seharusnya menjadi saudara (al-muslimu akhu al-muslim) saling menyerang dan menyalahkan seakan-akan kita lebih pintar dari yang maha pintar dan lebih tahu dari yang maha tahu.
Selebihnya, buku mungil ini bukanlah bertujuan untuk mengungkit-ngungkit polemik dan perdebatan yang terjadi, bukan untuk memanaskan suasana dengan menyerang kelompok yang kontra dengan tahlilal, dan bukan pula digunakan untuk menunjukan bahwa mereka yang pro dan melakukan praktik tahlilan memiliki dalil dan dasar syar’i. Tetapi, lebih pada untuk menjernihkan suasana dan menghapuskan perselisihan yang kerap kalei meruncing tersebut.
Sebagi orang yang dipilih Allah untuk memiliki keluasan pengetahuan hendaknya kita meniru ilmu padi. Yakni semakin berisi semakin merunduk. Artinya, janganlah menyalah gunakan keluasan ilmu yang dimiliki untuk menyerang dan menyalahkan sesama. Tetepi, dipergunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama. Seperti yang sering dikatakan orang tua, “ilmu itu pantang digunakan untuk saling menyerang, ilmu itu pantang untuk dibuat gagah-gagahan”. Akhirnya, dengan menggunakan penuturan dan gaya bahasa yang ringan sehingga mudah untuk dipahami, cocok rasanya buku mungil ini untuk dijadikan sebagai tambahan koleksi pustaka serta dijadikan sebagai referensi untuk memperluas khazanah pengetahuan kita.

Monday 14 January 2019

Resensiku; Strategi Pemberdayaan Masyarakat Nelayan

Judul: Strategi Hidup Masyarakat Nelayan
Penulis: Drs. Kusnadi dkk.
Penerbit: LKiS, Yogyakarta.
Cetakan: Pertama, Januari 2007
Tebal: xxiv-118 Halaman.
  
Kondisi desa-desa pesisir atau desa-desa nelayan secara umum berada dalam perkembangan yang sangat lamban. Masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir, umumnya merupakan kelompok masyarakat yang relatif tertinggal, baik secara ekonomi, sosial (khususnya dalam hal pendidikan dan layanan kesehatan),dan kultural di banding dengan kelompok masyarakat lain. Karena kondisi desa yang demikian,dinamika sosial ekonomi pesisr juga terbatas dan masyarakat kurang memiliki kemampuan untuk mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya.
Sebagian besar studi tentang masyarakat nelayan berfokus padaaspek sosial ekonomi. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat nelayan merupakan salah satu kelompok masyarakat yang intensif didera kemiskinan. Kemiskinan adalah faktor utama yang melemahkan kemampuan masyarakat dalam membangun wilayahnya dan meningkatkan kesejahteraan sosialnya. 
Rendahnya kualitas sumber daya manusia karena sebagian besar masyarakat pesisir hanya lulusan sekolah dasar, merupan hambatan potensial bagi masyarakat nelayan untuk mendorong dinamika pembangunan di wilayahnya. Karakteristik masyarakat pesisir di atas menjadi penghambat untuk mengembangkan kemampuan partisipasi mereka dalam pembangunan wilayah.
Seiring dengan belum berfungsinya atau belum adanya kelembagaan sosial masyarakat, maka upaya kolektif untuk mengelola potensi sumber daya wilayah juga menjadi terhambat. Hal ini berpengaruh besar terhadap lambannya arus perubahan sosial-ekonomi di kawasan pesisir sehingga dinamika pembangunan wilayah menjadi terhambat. Hal ini juga menimpa sebuah desa nelayan, yakni Desa Paseban, Kecamatan Kencong, Kabupaten Jember.
Desa Paseban merupakan satu-satunya desa nelayan di Kecamatan Kencong yang memiliki potensi sumber daya alam yang besar. Di antaranya perikanan dan  pariwisata pantai. Potensi ini belum tergarap secara optimal, sedangkan masyarakat pesisir –khususnya masyarakat Paseban– memiliki keinginan untuk terus mengembangkan kegiatan sosial-ekonomi wilayah.   
Salah satu strategi yang ditempuh dalam upaya membangun masyarakat nelayan yang kondisinya seperti di atas dan agar potensi pembangunan masyarakat bisa dikelola dengan baik adalah dengan membangun dan memperkuat kelembagaan sosial yang dimiliki atau yang ada pada masyarakat dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia, dengan jalan meningkatkan wawasan pembangunan dan keterampilan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, masyarakat diharapkan memiliki kemampuan optimal dalam membangun wilayahnya. Kegiatan pemberdayaan sosial-ekonomi sangat diperlukan agar warga masyarakat memiliki kemampuan dalam mengelola potensi sumberdaya ekonomi lokal secara optimal.
Drs. Kusnadi beserta rekan-rekannya adalah para aktivis pemberdayaan masyarakat pesisir yang terhimpun dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pusat Studi Komunitas Pantai (PSKP) Jember. Drs. Kusnadi adalah seorang antropolog maritim yang memiliki keperdulian dan perhatian yang sangat besar terhadap masyarakat pesisir.
Buku  Strategi Hidup Masyarakat Nelayan adalah buku yang di angkat dari hasil studi yang dilakukan oleh Drs. Kusnadi beserta rekan-rekannya. Buku ini menuturkan bahwa di Desa Psisir di Paseban Kecamatan Kencong  Kabupaten Jember banyak terdapat sumber daya alam yang belum termanfaatkan secara optimal. Banyaknya sumber daya alam yang belum termanfaatkan ini di karenakan oleh rendahnya sumber daya manusia di daerah tersebut. Rendahnya sumber daya manusia di daerah tersebut karena masyarakat pesisir di Paseban relatif tertinggal, baik dalam segi pendidikan, ekonomi dan sosial. 
Karena melihat banyaknya sumber daya alam yang masih belum termanfaatkan secara optimal oleh masyarakat paseban, maka Drs. Kusnadi beserta reka-rekannya mengadakan kegiatan pemberdayaan masyarakat di Paseban. Kegiatan pemberdayaan masyarakat ini dirancang bangun sampai tiga tahap selama tiga tahun (2005-2007).
Tahap pertama kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah dengan memfokuskan diri terhadap pembentukan kelembagaan/organisasi sosial ekonomi, termasuk pendirian Unit Simpan Pinjam (USP), dan peningkatan wawasan masyarakat pesisir tentang kewira usahaan dan optimalisasi peranan ekonomi Kelompok Usaha Bersama (KUB). Pada tahap kedua, kegiatan ini lebih memfokuskan terhadap penguatan kapasitas kelembagaan sosial. Dengan demikian, diharapkan kinerja organisasi sosial, wawasan pengurus organisasi, dan profesionalisme pengelolaan USP berjalan dengan baik dan berkualitas. Di samping itu, masyarakat juga diberikan pendidikan dan pelatihan keterampilan agar bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan produksi yang semakin baik. Sedangkan pada tahap ketiga, kegiatan ini  lebih memfokuskan terhadap hubungan sosial antar pengurus, sehingga tanggung jawab dan kerja sama antara pengurus dan anggota organisasi semakin solid.
Menurut Drs. Kusnadi, pengorganisasian masyarakat nelayan adalah suatu upaya  sadar, terencana, dan sistematis untuk menggali sumberdaya dan membangun kekuatan kolektif seluruh elemen masyarakat serta mengelola potensi kolektif sumberdaya tersebut untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengatasi berbagai persoalan kemasyarakatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan bersama, yakni kesejahteraan sosial, kemakmuran ekonomi, dan peningkatan kualitas kehidupan yang berbudaya secara berkelanjutan.
Lebuh lanjut, dalam karyanya yang berjudul Strategi Hidup Masyarakat Nelayan ini Drs. Kusnadi mengatakan bahwa untuk mencapai cita-cita kolektif di atas, dibutuhkan sarana untuk wadah pengorganisasian masyarakat nelayan yang disebut dengan organisasi sosial. Organisasi sosisal di bentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat nelayan sendiri. Setiap desa nelayan cukup memiliki sebuah organisasi sosial yang eksistensinya bersifat representatif. Organisasi ini dapat berbadan hukum yayasan atau perkempulan  sesuai  kesepakatan seluruh masyarakat. Organisasi ini bersifat independen, nonpartisan terhadap partai politik, dan bukan underbow pemerintah. Karena kemampuan dan wawasan masyarakat nelayan terbatas, proses pembentukan organisasi sosial jika memungkinkan didampingi oleh individu-individu atau lembaga yang memiliki kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat pesisir.

Saturday 12 January 2019

Resensiku; Menemukan Kebahagiaan di Dalam Diri



Judul Buku: Kitab Kebahagiaan:
Rahasia Hidup Tenang dan Bahagia Setiap Hari
Pengarang: Mark Nepo
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: 1, 2015
Tebal: 419 Halaman
ISBN: 978-602-03-1273-6

Manusia memiliki kemampuan alamiah untuk bahagia sebab pada dasarnya kebahagiaan telah ada di dalam dirinya. Sebagai manusia, kita hanya perlu belajar untuk menemukan lalu membawanya dalam kehidupan. Sayangnya, tidak banyak orang yang menyadari kenyataan tersebut. Alih-alih belajar untuk menemukan kebahagiaan di dalam dirinya, orang-orang justru memforsir diri untuk bekerja, mengejar karier, mengumpulkan uang, serta membeli banyak barang agar dapat merasa bahagia.
Nyatanya, kesemua hal tersebut tidak memiliki sedikitpun kekuatan untuk menjadikan seseorang bahagia. Sebagai indikator, tidak jarang kita melihat tayangan berita di televisi seorang public figure harus berurusan dengan pihak berwenang karena memakai narkoba. Banyak dari mereka menggunakan obat-obatan terlarang tersebut karena stres (tidak bahagia). Padahal mereka memiliki popularitas dan secara ekonomi tergolong berlebih.
Buku ini lahir dari keinginan Mark Nepo untuk berbagi “cahaya kebahagiaan” bersama mereka yang haus akan rasa bahagia. Melalui tulisan-tulisannya, Nepo mengajak kita untuk kembali melihat sejenak kedalam diri masing-masing, sebab hal itu akan mengantarkan pada jalan untuk meraih kebahagiaan. Ia menegaskan bahwa kedamaian dan kebahagiaan sejatinya telah ada dalam diri manusia, terlelap, menunggu untuk dibangunkan kemudian dilepaskan.
Sebagai contoh, Nepo mengisahkan sebuah cerita tentang wanita yang menemukan spons kering dan terlipat kaku. Singkat cerita si perempuan membawa spons kering tersebut ke laut dan melangkah masuk ke dalam air. Perempuan itu tercengang ketika mendapati spons tiba-tiba merekah dan menemukan keajaiban di dalamnya. Ia melihat ada seekor ikan kecil terperangkap dalam lipatan spons, tertidur, tiba-tiba hidup, terbangun, dan berenang bebas menuju lautan (hlm. 5).
Dalam kisah tersebut, Mark Nepo menjadikan spons kering yang kaku dan ikan kecil di dalamnya sebagai perlambang dari manusia dan rasa bahagia. Seperti spons itu, seringkali hati kita kering dan berharap untuk menemukan mata air kebebasan. Jiwa dapat menemukan kedamaian dan kebahagiaannya, hanya ketika kita membiarkannya berenang, seperti si ikan kecil.
Namun demikian, Nepo juga menegaskan bahwa tidak jarang seseorang terperangkap dalam “penjara” yang dibuatnya sendiri. Perasaan takut akan kenyataan, takut terhadap perubahan, serta kecemasan, pada akhirnya mengantarkan seseorang dalam keterpurukan. Ingat! Rasa takut mendapatkan kekuatan dari penolakan kita untuk melihat baik pada ketakutan itu sendiri maupun pada apa yang kita takuti. Merasa cemas merupakan cara berjudi dengan apa yang mungkin terjadi atau tidak.
Wayne Muller berkata “semakin lapang dan besar sifat dasar alami kita, semakin penderitaan hidup akan lebih mudah ditanggung” (hlm. 16). Ibarat segenggam garam yang dimasukkan ke dalam segelas air, tentu rasa asin bahkan pahit yang kita kecap. Namun, apabila segenggam garam tadi dimasukkan ke danau, hanya rasa segar air membasuh kerongkongan yang kita dapati pada saat meminumnya. Berhentilah menjadi gelas, jadilah danau! Kata Mark Nepo. Besarnya rasa pahit yang dirasakan tergantung pada wadah tempat kita memasukkan penderitaan tersebut.
Dalam konteks sekarang, buku berjudul Kitab Kebahagiaan ini rasanya perlu untuk kita baca, terlebih pada era sekarang di mana orang-orang begitu haus akan kedamaian dan kebahagiaan. Tidak hanya itu, dalam buku ini Mark Nepo juga menyertakan latiahan-latihan praktis yang dapat pembaca lakukan, seperti meditasi dan pernapasan. Seperti halnya sebuah handbook, buku ini dapat menjadi pemandu bagi kita untuk menemukan kebahagiaan, lalu membangunkannya.

Tulisan ini pernah dimuat di media online Portal Satu pada 9 Mei 2016.

Thursday 10 January 2019

Resensiku; Indonesia dan Demokrasi Hukum Rimba


Judul Buku: Demokrasi Ala Tukang Copet
Pengarang: Mohammad Sobary
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: I, Oktober 2015
Tebal: 124 Halaman

ISBN: 978-979-433-836-0

Demokrasi diyakini sebagai sistem pemerintahan yang paling ideal dan efektif, karena memposisikan suara rakyat sebagai “suara tuhan”. Oleh sebab itu, sistem pemerintahan ini banyak dianut dan diterapkan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun demikian, berbeda dengan negara-negara lain, demokrasi yang dianut Indonesia bukanlah sembarang demokrasi, melainkan demokrasi yang “dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan”, sebagaimana tertuang dalam sila keempat Pancasila.
Secara teoritis, kehidupan berdemokrasi di Indonesia seharusnya dapat tumbuh dan berkembang secara “sehat” karena dipimpin oleh wakil dengan watak, sifat, sekaligus sikap yang bijaksana dan penuh hikmah. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa semenjak masa kemerdekaan hingga setelah era reformasi sekalipun, demokrasi di Indonesia terus mengalami pasang surut bahkan menjadi pesakitan.
Hal ini terjadi dikarenakan para elite politik (eksekutif – legislatif), yang bertugas sebagai wakil rakyat, secara perlahan telah kehilangan watak “bijaksana” dan penuh “hikmah”-nya. Mereka yang katanya mewakili suara rakyat, justru menyelewengkan kewenangan yang dimiliki untuk kepentingannya sendiri, dan mengabaikan kepentingan rakyat dalam arti yang sebenarnya (hlm. 75).
Buku berjudul Demokrasi Ala Tukang Copet ini, berisi kumpulan insinuasi yang ditulis Muhammad Sobary, sebagai tanggapan atas “parodi” sosial dan politik yang sedang berlangsung di Indonesia. Melalui tulisannya, ia menyentil perilaku “khianat” para elite politik yang sama sekali jauh dari watak bijaksana, sebagaimana diajarkan dalam nilai-nilai Pancasila.
Dalam buku ini disebutkan, bahwa dunia politik Indonesia tak ubahnya seperti alam liar yang menerapkan aturan hukum rimba sebagai aturan mainnya. Sudah menjadi rahasia umum, jika para elite politik di negari ini tidak akan ragu-ragu menggunakan segala cara termasuk praktik suap dan segala bentuk money politic lainnya, hanya untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Kenyataan ini tentu menjadi sebuah indikator betapa rendahnya moralitas politisi kita.
Tidak hanya itu, di negeri ini pula para “serigala berdasi” dapat dengan leluasa melakukan tindak koruptif dan menghisap darah rakyat tanpa belas kasih. Mereka tak lagi takut ataupun perduli terhadap lembaga penegak hukum, sebab perkara yang baik, buruk, benar, dan salah, telah mereka campur-aduk dalam wadah bernama keserakahan dan ambisi (hlm. 53).
Sudah barang tentu, ketika birokrasi pemerintahan dijalankan oleh wakil rakyat yang berjiwa serakah dan bermoral rendah, mereka tak akan segan melacurkan kewenangan yang seharusnya digunakan untuk mensejahterakan masyarakat. Segala bentuk penyelewengan dapat mereka lakukan untuk memenuhi hasrat kepentingan, bahkan merampas apa yang bukan menjadi haknya pun seakan-akan bukan suatu kesalahan.
Ironisnya, “problem moral” tersebut juga menjangkiti para elite politik yang notabene berasal dari institusi berhaluan keagamaan. Mereka yang seharusnya dapat menjadi solusi perbaikan terhadap krisis moral di kalangan elite, tak jarang justru berada di garis terdepan dalam melacurkan prinsip moral yang diyakininya. Prinsip keagamaan yang diyakini telah mereka lacurkan secara terbuka dalam politik, dan sama sekali tidak mengenal sikap “zuhud” sebagaimana sering mereka khutbahkan (hlm. 71).
Di negari ini demokrasi seakan tidak lagi dimaknai sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Demokrasi telah diubah makna dan definisinya sedemikian rupa agar tidak menghalangi praktik perompakan besar-besaran para elite politik. Di negeri ini, penguasa sebenarnya bukan rakyat, melainkan orang-orang partai di parlemen. Kenyataan politik berkata bahwa suara rakyat adalah suara rakyat, suara kaum tertindas yang tak punya pelindung. Rakyat di negeri ini adalah yatim piatu.
Selain berisi sindiran terhadap elite politik Indonesia yang dapat membuat pembaca tersenyum getir dan miris, Mohamad Sobary, dalam buku ini juga memberikan kita bahan perenungan dalam menyikapi problem demokrasi kedepannya. Sudah saatnya kita berbenah dan mencari keluhuran budi, kembali pada cita-cita para pejuang kemerdekaan Indonesia. Demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi hukum rimba, melainkan demokrasi yang berasaskan Pancasila.

*Tulisan ini pernah dimuat di media online Portal Satu pada

blogger templates | Make Money Online