Judul
Buku: The Castle of The Carpathians
Penulis:
Jules Gabriel Verne
Penerbit:
Qanita, Bandung
Cetakan:
Pertama, Juni 2017
Tebal: 246
Halaman
ISBN:
978-602-402-074-3
Bernama lengkap Jules Gabriel
Verne (08 Februari 1828 – 24 Maret 1905), ia dikenal sebagai novelis yang
merintis genre novel fiksi ilmiah. Di antara karya-karyanya yang terkenal dan
masih dibaca serta diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa hingga saat ini adalah
Twenty Thousand Leagues Under The Sea (1870), dan Around The World in
Eighty Days (1873). Bahkan judul yang terakhir sempat difilmkan pada 2004,
dibintangi oleh aktor laga ternama Jackie Chan.
Karya-karya fiksi ilmiah Verne
memang berkisah petualangan ajaib dengan teknologi canggih yang melampaui
masanya, semisal perjalanan menuju perut bumi, laut dalam, hingga petualangan
di udara, bahkan sebelum pesawat terbang maupun kapal selam itu sendiri
diciptakan. Karena karya-karyanya itulah Verne kemudian dinobatkan sebagai
“Bapak Fiksi Ilmiah.” Meski demikian, di antara karyanya, rupanya ada juga yang
menampilkan wajah lain budaya sebagian masyarakat Eropa yang kental dengan
nuansa tahayul, berjudul The Castle of The Carphatians, novel yang konon
menginspirasi Bram Stoker menulis Dracula. Berlatar desa kecil bernama
Werst, bagian dari Transylvania, Verne mengisahkan kehidupan masyarakat yang
begitu terbelakang sekaligus sangat percaya dengan tahayul.
Secara garis besar, novel
tersebut bercerita tentang Kastel Charpatians yang dikenal angker oleh penduduk
setempat. Konon, bagunan yang berdiri sejak abad kedua belas atau tiga belas
itu milik para baron Gortz. Namun kastel tua itu tidak lagi terurus semenjak
ditinggal oleh tuan tanah terakhirnya Baron Rodolphe de Gortz. Tak banyak
informasi perihal keberadaan sang Baron, selain rumor yang mengatakan bahwa ia
tewas dalam pengembaraannya.
Kisah bermula dari temuan Frik,
salah seorang penggembala yang juga dipercaya sebagai cenayang oleh penduduk
Werst, yang melihat asap keluar dari bangunan tua tak berpenghuni itu. Seketika
Werst menjadi gaduh, karena para penduduk percaya bahwa hantu dan monster telah
menjadikan kastel itu sebagai hunian. “Tangan! –mungkin mungkin cakar!” ucap
salah seorang penduduk mencoba menebak-nebak siapa (apa) yang menyalakan api
sebagai muasal asap di kastel itu.
Master Koltz, pemimpin desa,
serta para penduduk akhirnya mengadakan pertemuan untuk mendiskuskan perihal
tindakan apa yang harus diambil, sebab hal itu mengancam masa depan desa terpencil
tersebut. Bayangkan saja, pelancong mana yang berkenan singgah ke tempat yang
dihuni monster dan hantu? Jika tidak ada turis, maka pemasukan pajak pun dapat
berkurang secara drastis. “Mungkin kita perlu – pergi kesana, tuan, dan
melihat” usul Frik akhirnya pada pertemuan itu. Tentu saja tidak satupun
penduduk yang berani menyanggupi usulan itu.
Nic Deck, pengawas hutan yang
pemberani, secara sukarela menawarkan diri mendatangi kastel angker tersebut
untuk mengungkap misteri tersebut. Namun alih-alih berhasil menyingkap misteri
kastel Charpatians, Nic Deck yang ditemani Dokter Patak justru kembali dengan
penuh luka dan trauma akan kengerian yang ditimbulkan iblis penghuni kastel
tersebut. Sehingga datang seorang pengembara bernama Count Franz de Telek yang
tertarik menyelidiki, mendatangi, dan mengungkap rahasia kastel angker
tersebut.
Terlepas dari plot misteri yang
disusun secara apik serta menegangkan, Verne tetaplah “seorang rasionalis.” Sikap
rasional tersebut senantiasa tercermin di dalam karya-karyanya, termasuk The
Castle of The Carphatians. Sebagai contoh, jika diperhatikan dengan
seksama, sajian potret budaya masyarakat Transylvania yang begitu percaya
tahayul, justru terkesan sebagai sindiran bahkan representasi ketertinggalan
peradaban. Ungkapan sarkas seperti “Apa! Seorang dokter di Werst, padahal desa
itu masih memercayai hal-hal mistis?” (hlm. 49), “tak seorang pun berani
mengambil risiko keluar rumah bahkan sekedar untuk bekerja di ladang. Benarkah
pukulan sekop sesedikit apapun bisa mengundang penampakan hantu yang terkubur
di tanah?” (hlm. 121), dapat ditemui dengan mudah oleh pembaca dalam lembar
novel. Verne dalam novel tersebut nampak sedang membuat konstruksi pemaknaan
bahwa mustahil peradaban yang maju tumbuh di tengah-tengah masyarakat klenik.
Keyakinan terhadap tahayul menjadikan individu ataupun komunitas terkungkung
dan tidak produktif.
Verne yang seorang “Bapak Fiksi
Ilmiah” seakan membuat pernyataan bahwa munculnya legenda dan tahayul adalah
sebagai akibat dari kebodohan menyikapi fenomena alamiah. Kebodohan masyarakat
Werst terhadap teknologi menjadikan mereka dapat dengan mudah dikelabui.
Ketidaktahuan tersebut pada akhirnya melahirkan rasa takut di dalam diri mereka
atas apa yang tidak diketahuinya. Hal ini dapat pembaca temukan pada bagian
akhir novel yang memuat penjelasan rasional-ilmiah atas fenomena mistis yang
meneror masyarakat desa Werst. Verne menceriterakan bahwa sosok cahaya dan
“hantu” wanita di dalam kastel Carphatians tidak lain sekedar merupakan ilusi
optik yang sengaja dibuat untuk menakut-nakuti penduduk Werst agar tidak
mendekati kastel tersebut.
Lebih lanjut, tidak hanya
memiliki kekuatan pada narasi dan plot, kelebihan lain novel yang pertama kali
diterbitkan pada 1893 ini juga terletak pada suasana. Deskripsi tentang
keindahan alam perbukitan Transylvania, lembah Vulkan, dan sungai Nyad terasa
begitu hidup seakan pembaca sedang melihatnya sendiri. Meminjam istilah Ignas
Kleden, dalam novel ini “suasana” bercerita tanpa bantuan pengarang dan bahkan
tanpa bantuan cerita. Kepiawaian Verne dalam menyusun narasi dengan menyertakan
“kisah lucu” juga semakin memberi nilai lebih pada novel, yang menjadikan
pembaca tidak merasa bosan saat membaca.
0 Comments:
Post a Comment