Wednesday 19 December 2018

Resensiku; Catatan Seorang Backpacker di “Negeri Bollywood”


Judul Buku: Surga Yang Lucu:
Petualangan Seru Menjelajahi Kashmir, Himalaya, dan India
Pengarang: Yoli Hemdi
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: 1, 2015
Tebal: x + 175 Halaman
ISBN: 978-602-03-1196-8

Apa yang akan terbersit dalam benak ketika kita diminta membayangkan sebuah perjalanan berkunjung ke India? Barangkali hal pertama yang muncul adalah bayangan tentang liburan, petualangan, keindahan panorama Taj Mahal, atau bahkan kisah romantis sebagaimana tersaji dalam film-film bollywood. Nyatanya, kata “perjalanan” tidak melulu berafiliasi dengan wisata, tamasya, maupun setumpuk ide tentang liburan menyenangkan lainnya. Lebih dari itu, sebuah perjalanan merupakan rangkaian episode yang sarat dengan pembelajaran, emosi, kebahagiaan, hingga hal yang paling memuakkan.
Buku ini berisi catatan perjalanan seorang backpacker bernama Yoli Hemdi mengenai petualangannya menjelajahi anak benua India. Melalui buku ini, ia tidak hanya berbagi kisah perjalanan wisata memotret keindahan bumi Mahabharata, melainkan juga memuat episode seru yang sarat dengan pelajaran bermakna. Ia menegaskan bahwa dalam sebuah kisah perjalanan, terdapat muatan nilai yang mengajarkan keteguhan dan kedewasaan dalam melihat aneka corak kehidupan.
Di dalam buku ini, beragam kejadian seru, lucu, bahkan haru dikisahkan secara jujur dan apa adanya. Kisah tentang keindahan dan keunikan India, hingga kejadian yang penuh paradoks tentang kebiasaan maupun kondisi sosial masyarakat India, semuanya tertuang dalam penceritaan Yoli Hemdi. Baginya, ragam kisah tersebut justru bermuara pada sebuah kesimpulan India sebagai “surga yang lucu” (hlm. vi).
Siapa yang akan mengira eksotisme India yang menyimpan berjuta keindahan, di mana Taj Mahal, Red Fort, Benteng Amber maupun tempat-tempat istimewa lainnya berada, menyimpan sisi lain yang tidak akan pernah kita duga bahkan dalam imajinasi teraneh sekalipun. Cerita berjudul Toilet Terluas Sedunia misalnya, yang menuturkan kebiasaan primitif kebanyakan masyarakat India yang masih suka kecing sembarangan.
Dalam cerita tersebut Hemdi menuturkan sisi paradoks kebanyakan masyarakat India yang masih memiliki anggapan “boleh buang air kecil di manapun mereka suka.” Sudah barang tentu, cara pandang tersebut pada akhirnya membentuk kultur gemar buang air kecil di sembarang tempat bahkan ketika tersedia toilet umum sekalipun. Dalam cerita ini pula, kita akan semakin dibuat tercengang dengan jawaban seorang inspektur polisi kepada Hemdi ketika menanyakan toilet. “Seluruh India ini toilet, Saudaraku! Pilih saja posisi yang nyaman untukmu” (hlm. 25).
Masih tentang sisi paradoks masyarakat India, Yoli Hemdi dalam Akting Pengemis Bak Artis, juga bercerita tentang banyaknya masyarakat India yang “berprofesi” sebagai pengemis. Ia mengisahkan pengalamannya berjumpa dengan seorang gadis kecil yang nekat mengemis ketika berkunjung ke India Gate, kawasan wisata yang seharusnya steril pengemis. Karena rasa iba, Hemdi pun memberikan lembaran 10 rupee kepada gadis malang tersebut yang kontan saja tertawa girang.
Akan tetapi, alih-alih ikut merasa senang karena telah berbagi dengan sesama, Hemdi justru menemukan kenyataan lucu sekaligus haru sebab ternyata gadis kecil tersebut bukanlah seorang pengemis, melainkan sesama pengunjung India Gate. Yang lebih mengejutkan, rupanya kedua orang tua gadis tersebut berada tak jauh dari tempat Hemdi berada. Hebatnya kedua orang tua gadis itu justru terlihat senang karena “akting” putri kecilnya telah berhasil menaklukkan seseorang (hlm. 47).
Secara keseluruhan, meski ditulis dengan gaya penuturan yang cenderung sarkastik dan apa adanya, rangkaian episode petualangan dalam buku ini dapat dikatakan “seru”. Buku ini tidak saja menyajikan cara pandang seorang backpacker dalam berpetualang, tetapi juga memuat banyak pembelajaran hidup sesemisal tentang kelapangan dalam menerima kenyataan (Stupid Mistake), maupun pelajaran tentang tidak baiknya perbuatan mencuri dalam bentuk apapun itu (Mencuri Foto).
Selain itu, buku ini juga memberikan catatan bermanfaat berupa saran bagi siapa saja yang ingin berkunjung ke bumi Mahabharata, semisal tips mencari hotel murah, menghindari intrik pengemis, termasuk juga tips untuk menghindari calo.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di media online Portal Satu pada 04 April 2016

Monday 17 December 2018

Resensiku; Latih Kemampuan Menulis Dengan Metode Free Writing



Judul Buku: Free Writing:
Mengejar Kebahagiaan dengan Menuis
Penulis: Hernowo Hasim
Penerbit: B First (PT. Bentang Pustaka)
Cetakan: 1, November 2017
Tebal: xl + 216 Halaman
ISBN: 978-602-426-088-0

 “Menulis” bagi sebagian besar orang identik dengan aktivitas yang menguras emosi serta penuh dengan tekanan. Ini disebabkan karena untuk menulis, seseorang membutuhkan konsentrasi penuh sehingga tidak jarang seseorang merasakan stress ketika melakukannya. Ini pula yang kemudian menjadikan “menulis” dilabeli sebagai pekerjaan “berat”, yang tidak semua orang dapat melakukannya. Menulis seakan menjadi aktivitas menyeramkan bagi kebanyakan orang, bahkan bagi seorang akademisi sekalipun.
Barangkali, alasan kenapa menulis terkesan menjadi pekerjaan berat adalah karena tidak terbiasanya seseorang dalam mengungkapkan gagasannya melalui tulisan. Selain itu mind set  bahwa sebuah tulisan haruslah menggunakan struktur kalimat, paragraf, serta gramatika yang baik semakin mempertegas image “menulis” sebagai pekerjaan yang tidak mudah. Dapat dibayangkan betapa kesulitannya seseorang yang tidak terbiasa menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan, masih juga harus menuliskan gagasannya menggunakan struktur bahasa yang sesuai standar. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mind set yang semacam ini pada akhirnya akan membentuk mental “tidak siap menulis” atau bahkan trauma menulis.
Memang tulisan yang baik, terlebih tulisan akademis, adalah menggunakan struktur gramatika yang baik dan benar. Tulisan semacam ini dapat dijumpai semisal di koran, jurnal, buku, dan sebagainya. Namun demikian, yang perlu diperhatikan bahwa semua model tulisan tersebut bertujuan untuk memahamkan atau memberikan informasi kepada orang lain. Dengan kata lain tulisan-tulisan tersebut ditujukan sebagai konsumsi publik. Lantas yang menjadi pertanyaan, apakah menulis memang hanya terbatas sebagai aktivitas memproduksi tulisan sebagai konsumsi publik semata?
Hernowo Hasim dalam Free Writing menyebutkan bahwa bisa saja tujuan sebuah tulisan dibuat adalah untuk mengeluarkan “sampah” yang ada di dalam pikiran seseorang. Sebuah tulisan diproduksi tidak selalu bertujuan agar dibaca oleh orang lain, melainkan juga untuk diri sendiri. Hasim mengistilahkannya dengan MUDS atau menulis untuk diri sendiri. MUDS merupakan aktivitas menulis yang tidak dikekang oleh peraturan yang dibuat oleh individu, lembaga, atau pihak lainnya (hlm. 132). Dengan demikian aktivitas menulis dapat terasa lebih ringan. MUDS menjadikan aktivitas menulis menjadi lebih nyaman sebab dengannya seseorang dapat mengatasi ketegangan saat menuliskan isi pikirannya.
Dalam hal ini Hasim menawarkan sebuah metode latihan menulis yang diadopsinya dari Barat bernama free writing, yakni menulis bebas (sebebas-bebasnya), tanpa harus terikat dengan aturan apapun, termasuk aturan kebahasaan. Pendekatan kebahasaan di dalam free writing sementara “dipinggirkan” terlebih dahulu. Karenanya, seseorang dapat menuliskan apa saja yang diinginkan tanpa harus terjebak labih dahulu dalam hal, semisal, penyusunan kata yang baik dan benar sesuai kaidah berbahasa. Ini bertujuan agar (melatih) “si penulis” dapat benar-benar menuliskan secara total dirinya (pikirannya) di atas kertas maupun gawai (hlm. xxvii).
Hasim mendasari gagasannya tentang free writing dari tokoh-tokoh penggagas metode quantum learning/writing seperti Roger Sperry, Lev Vigotsky, Bobbi Deporter, Mike Hernacki, Natalie Goldberg, James W. Pennebeker, dan Peter  Elbow. Lev Vigotsky misalnya, mengistilahkan free writing sebagai menulis dalam proses (hlm. 30). Dinamakan demikian sebab yang terpenting dalam latihan free writing adalah proses menulisnya, bukan hasil yang ditulis. Seseorang hanya perlu menuliskan apa saja yang terbersit di dalam pikirannya, kemudian merasakan prosesnya –apakah merasa nyaman atau tertekan ketika menulis. Sementara Natalie Goldberg, menggambarkan free writing sebagai menulis tanpa bentuk. Seseorang hanya perlu mengalirkan kemudian menuliskan apa yang ada di pikirannya, tidak lebih.
Menulis free writing terbilang mudah dilakukan sebab ia memanfaatkan kinerja otak kanan untuk menulis. Merujuk pada Sperry, otak kanan manusia bekerja secara acak dan emosional, sehingga ketika diterapkan pada free writing, seseorang dapat menulis secara bebas dan spontan. Dalam hal ini, yang perlu dilakukan dalam praktik menulis free writing adalah konsisten menulis (bebas) secara berkala, dalam durasi 10 menit tanpa berhenti. Dalam rentang 10 menit tersebut, kita hanya perlu menuliskan apa saja tanpa perlu berpikir maupun melakukan koreksi terhadap yang dituliskan. Yang terpenting adalah proses ketika menulis. Keep your hand moving!
Ini memberikan dampak positif berupa terbentuknya mental siap menulis. Kesiapan mental dalam menulis penting bagi seseorang untuk mengatasi ketegangan dan tekanan. Selain itu latihan menulis free writing juga dapat mengondisikan kenyamanan (mental) ketika sedang menulis. Dengan melakukan latihan free writing, sebagaimana disebutkan Haidar Bagir dalam pengantar buku, seseorang dapat membangkitkan potensi serta melejitkan kemampuan menulis. Selain itu, kehadiran free writing berpeluang mengubah banyak orang yang tidak suka menulis atau trauma menulis menjadi senang menulis.


Tulisan ini pernah dimuat di media online Liputan Kendal pada 19 April 2018.

Friday 14 December 2018

Resensiku; Membaca Negeri Kabut dalam Perspektif Absurditas


Judul Buku: Negeri Kabut
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Grasindo, Jakarta
Cetakan: I, Oktober 2016
Tebal: IV + 159 Halaman
ISBN: 978-620-375-729-9

Absurditas merupakan istilah yang kerap kali digunakan oleh para filsuf eksistensialis untuk menggambarkan betapa aneh dan tidak masuk akalnya kehidupan ini. Salah satu di antara mereka adalah Albert Camus, seorang filsuf sekaligus sastrawan kenamaan Prancis, yang berpendapat bahwa hidup manusia di dunia ini adalah sebuah kesia-siaan. Manusia diciptakan tanpa memiliki tujuan hidup. Karenanya, manusia senantiasa mencari esensi atau tujuan dari penciptaannya. Namun demikian, pencarian tersebut pada akhirnya berujung pada kesia-siaan.
Pemikiran Albert Camus ini tertuang dalam karya-karyanya, salah satunya Le Mythe de Sisyphe. Di dalam buku tersebut, ketika menjelaskan tentang absurdisme, Camus meminjam kisah mitologi Yunani, Sisifus, seorang raja yang karena “pemberontakannya” kepada para dewa, kemudian dihukum untuk melakukan pekerjaan yang sia-sia, mendorong batu ke puncak gunung, kemudian menggelindingkannya kembali kebawah, untuk selama-lamanya. Namun demikian, meski ditakdirkan mendapat hukuman untuk melakukan pekerjaan sia-sia, bagi Camus hukuman yang Sisifus jalani, sekaligus juga menjadi kemenangan atas pemberontakannya kepada dewa.
Dalam hal ini, se-absurd apapun kehidupan yang dijalani manusia, bentuk “pemberontakan” dengan terus menjalani kehidupan, merupakan wujud kemenangan atas absurditas itu sendiri. Menjalani rutinitas kehidupan –seperti apapun absurd dan sia-sianya– adalah bentuk perjuangan yang mampu membuat seseorang bahagia, sebab dengan terus bergerak dan menjalani kehidupan (yang penuh kesia-siaan), manusia dapat menemukan eksistensinya.
Dalam pada itu, tema absurditas nada-nadanya juga digunakan oleh Seno Gumira Ajidarma “sebagai perspektif” dalam cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam buku Negeri Kabut. Betapa tidak, hampir keseluruhan cerpen yang terdapat dalam buku tersebut menyiratkan “kesia-siaan” sebuah perjalanan (hidup), yang meski demikian tetap harus dijalani dan dinikmati. Cerpen-cerpen yang sarat dengan tema absurditas tersebar dalam buku setebal 159 halaman itu. Mulai dari cerita seorang yang mengembara ke seluruh penjuru bumi tanpa punya tujuan dan tanpa harus menemukan apapun, cerita seorang pemain bola yang terus berlari menggiring bola mencari gawang terakhir (di ujung dunia),  hingga cerita pendekar silat pilih tanding yang terus mengembara (tanpa tujuan) sambil menyeret-nyeret peti mati berisikan mayat seorang wanita.
Sebut saja cerpen pembuka yang juga berjudul Negeri Kabut misalnya, berkisah tentang seorang pengembara, yang terus berjalan menjelajah ke seluruh penjuru bumi tanpa (harus) memiliki tujuan. Dalam cerpen ini Seno menyisipkan kalimat “aku berpikir bahwa aku memang ditakdirkan hanya harus berjalan, berjalan, dan berjalan, dan tidak harus menemukan apapun” (hlm. 3). Kalimat tersebut secara tegas mempertontonkan kepada pembaca perihal absurditas perjalanan (hidup) seorang pengembara (manusia). Sebuah perjalanan adalah perpindahan dari satu persinggahan ke persinggahan lain, termasuk dinamika hidup. Perjalanan hidup manusia senantiasa bergerak dalam rutinitas serta fluktuasi pasang-surut dinamika kehidupan. Hanya dengan terus menjalaninya-lah manusia dapat menemukan eksistensinya dan mengalahkan absurditas itu sendiri, sebagaimana tergambar dalam kalimat “aku hanya setia pada perjalanan itu sendiri” (hlm. 4).
Tema absurditas dalam buku Negeri Kabut terasa semakin kental dengan adanya cerpen Di Tepi Sungai Parfum (hlm. 86), berkisah tentang perjalanan seorang anak manusia yang pergi meninggalkan kampung halaman, melarikan diri dari semua persoalan, mengembara selama 3000 tahun lamanya, mencari negeri yang penuh kebahagiaan bernama dunia maya. Seno mengakhiri cerpen tersebut dengan nuansa dramatis, yakni satu-satunya hal yang diinginkannya (ketika tiba di tepi sungai parfum, jalan masuk menuju dunia maya) adalah pulang ke kampung halaman, sekalipun memakan waktu 3000 tahun perjalanan untuk pulang.
 Dalam paham absurdisme, manusia kerap kali merasa putus asa dan frustasi ketika berhadapan dengan rutinitas dan dinamika kehidupan (absurdity). Karena itu, tidak sedikit manusia yang memilih untuk lari darinya (dengan cara bunuh diri). Namun demikian, lari dari absurditas bukanlah jawaban yang tepat sebab hal itu sekaligus menandai hilangnya eksistensi dirinya. Manusia seharusnya menyadari absurditas dan hidup berdampingan dengannya. Dengan cara itulah, manusia dapat memberontak terhadap absurditas dan menemukan kebahagiaannya (eksistensi).
Selain mengusung ide absurditas sebagai perspektif, nuansa realisme magis juga terasa begitu kuat dalam cerpen-cerpen Seno di buku Negeri Kabut. Sebagai contoh dalam cerpen berjudul Sukab Menggiring Bola, Seno secara terang-terangan membaurkan nuansa magis dengan dimensi realis. Ini dapat pembaca temukan pada bagian di mana Sukab terus berlari menggiring bola bahka ketika berada dipermukaan laut. Ia berlari melibas segala, hingga laut pun ia jelajah. Berlari sambil sesekali mengoperkan bola ke lumba-lumba (hlm. 59). Selain cerpen di atas, nuansa realisme magis juga dapat pembaca temukan dalam cerpen Ratri dan Burung Bangau pada bagian seribu burung bangau yang dengan paruhnya membawa bayi dalam gendongan, untuk dihadiahkan kepada mereka yang merindukan kehadiran seorang anak.
Lebih lanjut, melalui buku ini, Seno seakan mengusik serta mengajak pembaca untuk merenungkan kembali apa esensi serta tujuan hidup manusia. Membaca cerpen-cerpen dalam buku setebal 159 halaman ini, terasa sedang berdialog dengan begawan bijak yang menghapuskan “kebingungan” yang tak jarang menjangkiti manusia modern dalam perjalanan mencari eksistensinya.  Seno telah memasang lampu penerang agar pembaca tidak tersesat dalam absurditas.
Sudah semestinya Negeri Kabut menjadi bacaan wajib baik bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang sastra maupun bagi pecinta sastra secara umum. Seno sendiri dalam testimoninya mengatakan bahwa, “Sebenarnya saya tidak pernah ingin menulis cerpen-cerpen seperti dalam Saksi Mata –cerpen-cerpen itu dilahirkan oleh keadaan. Cerpen-cerpen yang selalu ingin saya tulis, adalah seperti yang terkumpul dalam Negeri Kabut ini.”


*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Bhirawa dengan judul Memahami Absurditas Perjalanan Kehidupan pada 09 November 2017

Akses juga laman Pelatihan Sdm di Jogja

Thursday 13 December 2018

Resensiku; Potret Kehidupan Dalam Sebuah Karya Sastra


Judul Buku: Cannery Row
Penulis: John Steinbeck
Penerjemah: Eka Kurniawan
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juli 2017
Tebal: viii + 236 Halaman
ISBN: 978-602-291-407-5

Sebuah karya sastra tak jarang berperan sebagai refleksi atau pantulan dari situasi-kondisi manusia dan masyarakat. Ia menjelma sebagai tiruan atau salinan dari kehidupan manusia. Mulai dari tradisi, struktur sosial, nilai moral, sistem politik, hingga problematika kehidupan yang terjadi di masyarakat, semuanya termuat dalam rangkaian besar sebuah narasi sastra. Pada akhirnya, karya sastra tidak hanya menjadi sarana untuk mengekspresikan keindahan semata, melainkan juga tentang humanitas, kebaikan, hingga ketidakberdayaan dan ketertindasan, yang meski demikian tetap menyimpan pendar cahaya harapan.
Seperti halnya dalam Cannery Row, karya sastra gubahan John Steinbeck ini menyoroti segenap kehidupan manusia, baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai individu yang penuh dengan “ketidakterdugaan.” Buku yang dalam edisi bahasa Indonesianya diterjemahkan oleh Eka Kurniawan ini menjadi sebuah mimesis atas struktur sosial-kehidupan masyarakat Cannery Row, Monterey California. Kisah-kisah tentang kesetiakawanan, keterasingan, serta kedermawanan terangkum secara apik dengan nuansa realis-imajinatif. Dengan menggunakan premis yang polos dan sederhana, Cannery Row menyajikan kisah memukau tentang kemanusiaan.
Dalam buku ini diceritakan bahwa Cannery Row, Monterey California adalah tempat bagi kerumunan manusia, timbunan sampah, pabrik-pabrik pengalengan sarden, restoran, tempat pelacuran, serta rumah-rumah kumuh berada. Penduduknya adalah para pelacur, germo, tukang judi, dan anak-anak haram jadah (hlm.vi). Hanya ada kebisingan, kebusukan, serta bau amis pabrik pengalengan sarden di Cannery Row. Di tempat itulah, Doc yang seorang ahli maritim baik hati, Mack dan teman-temannya yang dianggap sebagai sampah masyarakat, serta Lee Chong seorang pedagang Tionghoa yang dermawan menetap.
Polemik dalam narasi buku bermula dari keinginan Mack dan teman-temannya untuk mengadakan sebuah pesta kejutan bagi Doc sebagai bentuk tindakan balas budi. Keinginan tersebut muncul sebab hanya Doc satu-satunya orang di Cannery Row yang senantiasa memperlakukan mereka dengan baik –meski pada kenyataannya Doc memang selalu baik kepada semua orang. Kebanyakan penduduk Cannery Row menganggap Mack dan teman-temannya sebagai sampah masyarakat, sehingga mereka dijauhi bahkan “ditolak” keberadaannya. Jika pun ada yang mau berbaik hati, itu semata karena takut atau tidak mau berlama-lama berurusan dengan mereka.
Namun apa boleh buat, rencana Mack dan kawan-kawan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pesta kejutan yang mereka persiapkan sebaliknya berubah menjadi kekacauan yang tak terhindarkan. Sekelompok pelanggan dari Bear Flag tiba-tiba datang membuat kegaduhan di kediaman Doc, yang berujung pada perkelahian. Karenanya, bukan pesta kejutan yang menyambut, melainkan pecahan gelas, pecahan kaca jendela, serta piringan hitam koleksi favoritnya yang hancur berserakan. Doc yang baru saja tiba justru mendapati laboratorium tempat tinggalnya dalam keadaan kacau-balau dan porak-poranda.
Akibat kejadian itu, Mack dan gerombolannya secara sosial semakin terasing dan ditolak keberadannya. Terlebih bagi Lee Chong yang dermawan, sebab ia merasa bahwa dirinyalah yang membiayai kekacauan itu. Lee memberikan Mack dan teman-temannya modal untuk mengadakan pesta dengan cara membeli kodok-kodok hasil tangkapan mereka. Bagi warga Cannery Row, Doc terlalu baik untuk mendapat perlakuan semacam itu. Apa yang telah Mack dan teman-temannya perbuat di kediaman Doc, semakin menegaskan mereka sebagai pembuat masalah.
Yang menarik dari novel ini adalah sisi humanitas yang terdapat dalam setiap bagian narasi novel. Ini dapat pembaca temukan, misalnya, dari sikap yang ditunjukkan oleh tokoh Doc atas kekacauan yang telah diperbuat Mack dan teman-temannya. Bagi masyarakat Cannery Row, niat baik Mack untuk mengadakan pesta kejutan sepenuhnya telah dilupakan. Sebaliknya, mereka percaya bahwa Mack dan teman-temannya telah membongkar paksa dan masuk ke dalam laboratorium, mengacaukannya dengan kedengkian dan kejahatan murni.
Namun tidak demikian dengan Doc, meski menjadi pihak yang dirugikan, ia tetap menghargai niat baik Mack. Baginya, kesalahan yang telah diperbuat Mack dan teman-temannya hanya bagian dari kehidupan yang siapa saja dapat melakukannya. Sebaliknya, Mack dan teman-teman, bagi Doc adalah representasi dari manusia yang merdeka. Mereka sekedar melakukan apa yang mereka inginkan dan mereka percaya. Kekacauan yang mereka perbuat bukanlah sesuatu yang tidak termaafkan. Pada akhirnya, masyarakat Cannery Row akan menyadari hal itu dan merubah cara pandang mereka. Waktu akan menyembuhkan segala sesuatu (hlm. 168).
Selain mengusung tema kemanusiaan, kelebihan lain dari novel ini terletak pada kekuatannya dalam menghidupkan suasana. Meminjam istilah Ignas Kleden, dalam novel ini “suasana”-lah yang bercerita, tanpa bantuan pengarang dan tanpa bantuan cerita. Gambaran tentang suasana pengap serta bisingnya Cannery Row, keindahan Carmel Valley yang dipenuhi tanaman aster, rusa dan rubah yang sesekali muncul untuk minum di pinggiran sungai Carmel, dilukiskan secara memukau dan terasa begitu hidup. Pembaca seakan dibawa masuk dan mengalami sendiri hidup di Cannery Row.

Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Pustaka, Harian Bhirawa pada 03 November 2017 


blogger templates | Make Money Online