Thursday 10 January 2019

Resensiku; Indonesia dan Demokrasi Hukum Rimba


Judul Buku: Demokrasi Ala Tukang Copet
Pengarang: Mohammad Sobary
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: I, Oktober 2015
Tebal: 124 Halaman

ISBN: 978-979-433-836-0

Demokrasi diyakini sebagai sistem pemerintahan yang paling ideal dan efektif, karena memposisikan suara rakyat sebagai “suara tuhan”. Oleh sebab itu, sistem pemerintahan ini banyak dianut dan diterapkan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun demikian, berbeda dengan negara-negara lain, demokrasi yang dianut Indonesia bukanlah sembarang demokrasi, melainkan demokrasi yang “dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan”, sebagaimana tertuang dalam sila keempat Pancasila.
Secara teoritis, kehidupan berdemokrasi di Indonesia seharusnya dapat tumbuh dan berkembang secara “sehat” karena dipimpin oleh wakil dengan watak, sifat, sekaligus sikap yang bijaksana dan penuh hikmah. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa semenjak masa kemerdekaan hingga setelah era reformasi sekalipun, demokrasi di Indonesia terus mengalami pasang surut bahkan menjadi pesakitan.
Hal ini terjadi dikarenakan para elite politik (eksekutif – legislatif), yang bertugas sebagai wakil rakyat, secara perlahan telah kehilangan watak “bijaksana” dan penuh “hikmah”-nya. Mereka yang katanya mewakili suara rakyat, justru menyelewengkan kewenangan yang dimiliki untuk kepentingannya sendiri, dan mengabaikan kepentingan rakyat dalam arti yang sebenarnya (hlm. 75).
Buku berjudul Demokrasi Ala Tukang Copet ini, berisi kumpulan insinuasi yang ditulis Muhammad Sobary, sebagai tanggapan atas “parodi” sosial dan politik yang sedang berlangsung di Indonesia. Melalui tulisannya, ia menyentil perilaku “khianat” para elite politik yang sama sekali jauh dari watak bijaksana, sebagaimana diajarkan dalam nilai-nilai Pancasila.
Dalam buku ini disebutkan, bahwa dunia politik Indonesia tak ubahnya seperti alam liar yang menerapkan aturan hukum rimba sebagai aturan mainnya. Sudah menjadi rahasia umum, jika para elite politik di negari ini tidak akan ragu-ragu menggunakan segala cara termasuk praktik suap dan segala bentuk money politic lainnya, hanya untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Kenyataan ini tentu menjadi sebuah indikator betapa rendahnya moralitas politisi kita.
Tidak hanya itu, di negeri ini pula para “serigala berdasi” dapat dengan leluasa melakukan tindak koruptif dan menghisap darah rakyat tanpa belas kasih. Mereka tak lagi takut ataupun perduli terhadap lembaga penegak hukum, sebab perkara yang baik, buruk, benar, dan salah, telah mereka campur-aduk dalam wadah bernama keserakahan dan ambisi (hlm. 53).
Sudah barang tentu, ketika birokrasi pemerintahan dijalankan oleh wakil rakyat yang berjiwa serakah dan bermoral rendah, mereka tak akan segan melacurkan kewenangan yang seharusnya digunakan untuk mensejahterakan masyarakat. Segala bentuk penyelewengan dapat mereka lakukan untuk memenuhi hasrat kepentingan, bahkan merampas apa yang bukan menjadi haknya pun seakan-akan bukan suatu kesalahan.
Ironisnya, “problem moral” tersebut juga menjangkiti para elite politik yang notabene berasal dari institusi berhaluan keagamaan. Mereka yang seharusnya dapat menjadi solusi perbaikan terhadap krisis moral di kalangan elite, tak jarang justru berada di garis terdepan dalam melacurkan prinsip moral yang diyakininya. Prinsip keagamaan yang diyakini telah mereka lacurkan secara terbuka dalam politik, dan sama sekali tidak mengenal sikap “zuhud” sebagaimana sering mereka khutbahkan (hlm. 71).
Di negari ini demokrasi seakan tidak lagi dimaknai sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Demokrasi telah diubah makna dan definisinya sedemikian rupa agar tidak menghalangi praktik perompakan besar-besaran para elite politik. Di negeri ini, penguasa sebenarnya bukan rakyat, melainkan orang-orang partai di parlemen. Kenyataan politik berkata bahwa suara rakyat adalah suara rakyat, suara kaum tertindas yang tak punya pelindung. Rakyat di negeri ini adalah yatim piatu.
Selain berisi sindiran terhadap elite politik Indonesia yang dapat membuat pembaca tersenyum getir dan miris, Mohamad Sobary, dalam buku ini juga memberikan kita bahan perenungan dalam menyikapi problem demokrasi kedepannya. Sudah saatnya kita berbenah dan mencari keluhuran budi, kembali pada cita-cita para pejuang kemerdekaan Indonesia. Demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi hukum rimba, melainkan demokrasi yang berasaskan Pancasila.

*Tulisan ini pernah dimuat di media online Portal Satu pada

0 Comments:

blogger templates | Make Money Online