Judul Buku:
Demokrasi Ala Tukang Copet
Pengarang:
Mohammad Sobary
Penerbit:
Mizan, Bandung
Cetakan:
I, Oktober 2015
Tebal: 124 Halaman
ISBN: 978-979-433-836-0
Demokrasi diyakini sebagai sistem
pemerintahan yang paling ideal dan efektif, karena memposisikan suara rakyat
sebagai “suara tuhan”. Oleh sebab itu, sistem pemerintahan ini banyak dianut
dan diterapkan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun demikian, berbeda
dengan negara-negara lain, demokrasi yang dianut Indonesia bukanlah sembarang
demokrasi, melainkan demokrasi yang “dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan”,
sebagaimana tertuang dalam sila keempat Pancasila.
Secara teoritis, kehidupan berdemokrasi
di Indonesia seharusnya dapat tumbuh dan berkembang secara “sehat” karena
dipimpin oleh wakil dengan watak, sifat, sekaligus sikap yang bijaksana dan
penuh hikmah. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa semenjak masa kemerdekaan
hingga setelah era reformasi sekalipun, demokrasi di Indonesia terus mengalami
pasang surut bahkan menjadi pesakitan.
Hal ini terjadi dikarenakan para elite
politik (eksekutif – legislatif), yang bertugas sebagai wakil rakyat, secara
perlahan telah kehilangan watak “bijaksana” dan penuh “hikmah”-nya. Mereka yang
katanya mewakili suara rakyat, justru menyelewengkan kewenangan yang dimiliki
untuk kepentingannya sendiri, dan mengabaikan kepentingan rakyat dalam arti
yang sebenarnya (hlm. 75).
Buku berjudul Demokrasi Ala Tukang
Copet ini, berisi kumpulan insinuasi yang ditulis Muhammad Sobary, sebagai
tanggapan atas “parodi” sosial dan politik yang sedang berlangsung di
Indonesia. Melalui tulisannya, ia menyentil perilaku “khianat” para elite
politik yang sama sekali jauh dari watak bijaksana, sebagaimana diajarkan dalam
nilai-nilai Pancasila.
Dalam buku ini disebutkan, bahwa dunia politik
Indonesia tak ubahnya seperti alam liar yang menerapkan aturan hukum rimba
sebagai aturan mainnya. Sudah menjadi rahasia umum, jika para elite politik di
negari ini tidak akan ragu-ragu menggunakan segala cara termasuk praktik suap
dan segala bentuk money politic lainnya, hanya untuk mendapatkan apa
yang diinginkan. Kenyataan ini tentu menjadi sebuah indikator betapa rendahnya
moralitas politisi kita.
Tidak hanya itu, di negeri ini pula para
“serigala berdasi” dapat dengan leluasa melakukan tindak koruptif dan menghisap
darah rakyat tanpa belas kasih. Mereka tak lagi takut ataupun perduli terhadap
lembaga penegak hukum, sebab perkara yang baik, buruk, benar, dan salah, telah mereka
campur-aduk dalam wadah bernama keserakahan dan ambisi (hlm. 53).
Sudah barang tentu, ketika birokrasi
pemerintahan dijalankan oleh wakil rakyat yang berjiwa serakah dan bermoral
rendah, mereka tak akan segan melacurkan kewenangan yang seharusnya digunakan
untuk mensejahterakan masyarakat. Segala bentuk penyelewengan dapat mereka lakukan
untuk memenuhi hasrat kepentingan, bahkan merampas apa yang bukan menjadi
haknya pun seakan-akan bukan suatu kesalahan.
Ironisnya, “problem moral” tersebut juga
menjangkiti para elite politik yang notabene berasal dari institusi berhaluan
keagamaan. Mereka yang seharusnya dapat menjadi solusi perbaikan terhadap
krisis moral di kalangan elite, tak jarang justru berada di garis terdepan
dalam melacurkan prinsip moral yang diyakininya. Prinsip keagamaan yang
diyakini telah mereka lacurkan secara terbuka dalam politik, dan sama sekali
tidak mengenal sikap “zuhud” sebagaimana sering mereka khutbahkan (hlm. 71).
Di negari ini demokrasi seakan tidak
lagi dimaknai sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Demokrasi telah
diubah makna dan definisinya sedemikian rupa agar tidak menghalangi praktik perompakan
besar-besaran para elite politik. Di negeri ini, penguasa sebenarnya bukan
rakyat, melainkan orang-orang partai di parlemen. Kenyataan politik berkata
bahwa suara rakyat adalah suara rakyat, suara kaum tertindas yang tak punya
pelindung. Rakyat di negeri ini adalah yatim piatu.
Selain berisi sindiran terhadap elite
politik Indonesia yang dapat membuat pembaca tersenyum getir dan miris, Mohamad
Sobary, dalam buku ini juga memberikan kita bahan perenungan dalam menyikapi
problem demokrasi kedepannya. Sudah saatnya kita berbenah dan mencari keluhuran
budi, kembali pada cita-cita para pejuang kemerdekaan Indonesia. Demokrasi
Indonesia bukanlah demokrasi hukum rimba, melainkan demokrasi yang berasaskan
Pancasila.
*Tulisan ini pernah dimuat di media online Portal Satu pada
0 Comments:
Post a Comment