Pengarang:
Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Bentang,
Yogyakarta
Cetakan:
I, April 2016
Tebal: 158
Halaman
ISBN:
978-602-291-190-6
Sudah setahun lamanya Maria membiarkan
pintu dan jendela rumahnya terbuka lebih lama setiap senja, menunggu kepulangan
seseorang yang entah dimana berada. Sudah setahun lamanya, setiap hari Maria
menanti dengan keyakinan dan harapan yang tiada berkurang sedikitpun, sama
penuhnya seperti sesaat setelah peristiwa yang telah mengacaukan kerja otaknya
itu. Sudah setahun lamanya Maria memelihara keyakinannya bahwa suatu saat, di
suatu senja, Antonio akan pulang, berlari dan memeluknya, sambil berseru
“Mama.”
Kilasan cerita di atas diambil dari
“Maria”, salah satu cerpen Seno Gumira Ajidarma yang terkumpul dalam buku Saksi Mata,
sebagai bentuk sikapnya yang menolak bungkam melihat kesewenang-wenangan rezim otoriter.
Saga tentang penindasan oleh pemerintah yang berkolaborasi dengan militer,
tertuang dalam buku yang berisikan 16 kompilasi cerpen tersebut. Dalam hal ini,
sikap Seno tersebut dapat pembaca temukan dalam catatan pengantarnya yang
menyinggung Insiden Dili, yang secara tidak langsung menjadi background
atas cerpen-cerpennya.
Sejarah mencatat, peristiwa yang juga
dikenal sebagai The Dili Massacre oleh media luar negeri itu, merupakan
salah satu tragedi kemanusiaan yang memilukan bagi dunia internasional. Bukan
tanpa alasan kenapa disebut massacre (pembantaian). Ratusan jiwa manusia terenggut dalam
insiden yang terjadi pada 12 November 1991, di ibu kota Dili, Timor Timur itu.
Belum lagi, tidak sedikit pula dari mereka para korban yang dinyatakan hilang
tak tentu rimbanya.
Peristiwa berdarah itu telah
mengharuskan sebuah keluarga kehilangan sebagian anggotanya, seorang istri
kehilangan suaminya, dan seorang ibu harus rela kehilangan anaknya, akibat
superioritas dan arogansi sebuah rezim. Sungguh merupakan perjuangan yang
terlampau berat, terlebih bagi mereka yang berada di tengah pusaran konflik itu
sendiri. Betapa mahalnya harga yang harus dibayar supaya bisa berjalan dengan
kepala tegak itu (hlm. 33). Meski demikian, tidak ada harga yang terlalu mahal
jika untuk “menebus” kemerdekaan.
Seperti tertuang dalam cerpen pembuka
yang juga berjudul Saksi Mata misalnya, Seno secara apik menghadirkan
kisah heroik seorang “saksi mata” dalam rangka memperjuangkan kebenaran. Meski
harus membayar mahal dengan kehilangan matanya, yang dicongkel oleh sekelompok
orang berseragam seperti ninja, sang “saksi mata” tetap datang ke pengadilan
untuk memberikan kesaksian. Darah yang masih menetes dari lubang bekas kedua
matanya, sama sekali tak menyurutkan niatnya untuk bersaksi, demi keadilan dan
kebenaran (hlm. 8).
Ironisnya, di akhir cerita sang “saksi
mata” pun harus kehilangan lidahnya sebelum sempat mengungkap kebenaran.
Sekelompok orang berseragam seperti ninja kembali datang ke dalam “mimpi”-nya,
mencabut lidahnya menggunakan catut (hlm. 10). Seno secara tersirat mengilustrasikan
ketertindasan dan ketidakberdayaan menghadapi kesewenang-wenangan rezim pemerintah.
Ia seakan-akan menyuguhkan sebuah ironi –jika tidak bisa dikatakan sebagai
kenyataan– bahwa satu-satunya yang berhak untuk benar adalah yang berkuasa.
Rezim penguasa berhak untuk
mencurigai, menangkap, bahkan menghabisi siapa saja yang dianggap sebagai
“pemberontak”, seperti dikisahkan dalam cerpen Telinga. Seno menyuguhkan
sebuah paradoks dimana militer telah beralih fungsi menjadi senjata pemusnah
masal milik rezim otoriter. Setiap orang menjadi musuh dan setiap orang pantas
untuk dicurigai. Mereka harus dipotong telinga atau bahkan kepalanya, agar tak
lagi dapat membisikkan semangat perjuangan (hlm. 18).
Lebih lanjut,
cerpen-cerpen yang tersebar dalam buku ini telah menjadi memoar, sebuah kesaksian
tentang tragedi kemanusiaan. Melalui “dokumen sastra” yang ditulisnya, Seno
telah memilih untuk bersaksi dalam pengadilan manusia. Sekali lagi, tidak ada
harga yang terlalu mahal jika untuk “menebus” kemerdekaan. Mereka yang memegang
teguh nilai kebenaran akan terus meneriakkan dengan lantang arti sebuah
kemanusiaan. Mereka yang berjuang tidak akan pernah berhenti, seperti halnya
ketabahan Maria yang tetap menanti kepulangan Antonio, “kemerdekaannya.”
Tulisan ini di muat di Media Online Portal Satu: http://portalsatu.com/read/budaya/sebuah-kesaksian-tentang-tragedi-kemanusiaan-30750Kunjungi juga: Pelatihan di Jogja, Kursus Bahasa Arab Menyenangkan di Pare, Kursus Inggris Menyenangkan di Pare