Judul Buku: Free
Writing:
Mengejar Kebahagiaan dengan Menuis
Penulis: Hernowo Hasim
Penerbit: B First (PT.
Bentang Pustaka)
Cetakan: 1, November 2017
Tebal: xl + 216 Halaman
ISBN: 978-602-426-088-0
“Menulis”
bagi sebagian besar orang identik dengan aktivitas yang menguras emosi serta
penuh dengan tekanan. Ini disebabkan karena untuk menulis, seseorang
membutuhkan konsentrasi penuh sehingga tidak jarang seseorang merasakan stress ketika
melakukannya. Ini pula yang kemudian menjadikan “menulis” dilabeli sebagai
pekerjaan “berat”, yang tidak semua orang dapat melakukannya. Menulis seakan
menjadi aktivitas menyeramkan bagi kebanyakan orang, bahkan bagi seorang
akademisi sekalipun.
Barangkali, alasan kenapa menulis terkesan
menjadi pekerjaan berat adalah karena tidak terbiasanya seseorang dalam
mengungkapkan gagasannya melalui tulisan. Selain itu mind set bahwa sebuah tulisan haruslah menggunakan
struktur kalimat, paragraf, serta gramatika yang baik semakin mempertegas image
“menulis” sebagai pekerjaan yang tidak mudah. Dapat dibayangkan betapa
kesulitannya seseorang yang tidak terbiasa menuangkan gagasannya dalam bentuk
tulisan, masih juga harus menuliskan gagasannya menggunakan struktur bahasa yang
sesuai standar. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mind set yang semacam
ini pada akhirnya akan membentuk mental “tidak siap menulis” atau bahkan trauma
menulis.
Memang tulisan yang baik, terlebih tulisan
akademis, adalah menggunakan struktur gramatika yang baik dan benar. Tulisan
semacam ini dapat dijumpai semisal di koran, jurnal, buku, dan sebagainya.
Namun demikian, yang perlu diperhatikan bahwa semua model tulisan tersebut
bertujuan untuk memahamkan atau memberikan informasi kepada orang lain. Dengan
kata lain tulisan-tulisan tersebut ditujukan sebagai konsumsi publik. Lantas
yang menjadi pertanyaan, apakah menulis memang hanya terbatas sebagai aktivitas
memproduksi tulisan sebagai konsumsi publik semata?
Hernowo Hasim dalam Free Writing
menyebutkan bahwa bisa saja tujuan sebuah tulisan dibuat adalah untuk
mengeluarkan “sampah” yang ada di dalam pikiran seseorang. Sebuah tulisan
diproduksi tidak selalu bertujuan agar dibaca oleh orang lain, melainkan juga
untuk diri sendiri. Hasim mengistilahkannya dengan MUDS atau menulis untuk diri
sendiri. MUDS merupakan aktivitas menulis yang tidak dikekang oleh peraturan
yang dibuat oleh individu, lembaga, atau pihak lainnya (hlm. 132). Dengan
demikian aktivitas menulis dapat terasa lebih ringan. MUDS menjadikan aktivitas
menulis menjadi lebih nyaman sebab dengannya seseorang dapat mengatasi
ketegangan saat menuliskan isi pikirannya.
Dalam hal ini Hasim menawarkan sebuah
metode latihan menulis yang diadopsinya dari Barat bernama free writing,
yakni menulis bebas (sebebas-bebasnya), tanpa harus terikat dengan aturan
apapun, termasuk aturan kebahasaan. Pendekatan kebahasaan di dalam free
writing sementara “dipinggirkan” terlebih dahulu. Karenanya, seseorang
dapat menuliskan apa saja yang diinginkan tanpa harus terjebak labih dahulu
dalam hal, semisal, penyusunan kata yang baik dan benar sesuai kaidah berbahasa.
Ini bertujuan agar (melatih) “si penulis” dapat benar-benar menuliskan secara
total dirinya (pikirannya) di atas kertas maupun gawai (hlm. xxvii).
Hasim mendasari gagasannya tentang free
writing dari tokoh-tokoh penggagas metode quantum learning/writing
seperti Roger Sperry, Lev Vigotsky, Bobbi Deporter, Mike Hernacki, Natalie
Goldberg, James W. Pennebeker, dan Peter
Elbow. Lev Vigotsky misalnya, mengistilahkan free writing sebagai
menulis dalam proses (hlm. 30). Dinamakan demikian sebab yang terpenting dalam latihan
free writing adalah proses menulisnya, bukan hasil yang ditulis.
Seseorang hanya perlu menuliskan apa saja yang terbersit di dalam pikirannya,
kemudian merasakan prosesnya –apakah merasa nyaman atau tertekan ketika menulis.
Sementara Natalie Goldberg, menggambarkan free writing sebagai menulis
tanpa bentuk. Seseorang hanya perlu mengalirkan kemudian menuliskan apa yang
ada di pikirannya, tidak lebih.
Menulis free writing terbilang mudah
dilakukan sebab ia memanfaatkan kinerja otak kanan untuk menulis. Merujuk pada
Sperry, otak kanan manusia bekerja secara acak dan emosional, sehingga ketika
diterapkan pada free writing, seseorang dapat menulis secara bebas dan spontan.
Dalam hal ini, yang perlu dilakukan dalam praktik menulis free writing
adalah konsisten menulis (bebas) secara berkala, dalam durasi 10 menit tanpa
berhenti. Dalam rentang 10 menit tersebut, kita hanya perlu menuliskan apa saja
tanpa perlu berpikir maupun melakukan koreksi terhadap yang dituliskan. Yang
terpenting adalah proses ketika menulis. Keep your hand moving!
Ini memberikan dampak positif berupa
terbentuknya mental siap menulis. Kesiapan mental dalam menulis penting bagi
seseorang untuk mengatasi ketegangan dan tekanan. Selain itu latihan menulis free
writing juga dapat mengondisikan kenyamanan (mental) ketika sedang menulis.
Dengan melakukan latihan free writing, sebagaimana disebutkan Haidar
Bagir dalam pengantar buku, seseorang dapat membangkitkan potensi serta
melejitkan kemampuan menulis. Selain itu, kehadiran free writing
berpeluang mengubah banyak orang yang tidak suka menulis atau trauma menulis
menjadi senang menulis.
Tulisan ini pernah dimuat di media online Liputan Kendal pada 19 April 2018.
0 Comments:
Post a Comment