Thursday 11 February 2016

Resensiku: Memotret Sisi Lain Kehidupan Masyarakat Kota


Judul Buku: Tiada Ojek di Paris
Pengarang: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Mizan, Bandung 
Cetakan: I, April 2015 
Tebal: 212 Halaman
ISBN: 978-979-433-846-9

Dalam persepsi kebanyakan orang, kota identik dengan kemajuan dalam segala bidang baik sektor pendidikan, teknologi, ekonomi, maupun budayanya. Kota dengan segala kemajuannya menjadi destinasi utama bagi masyarakat rural “yang inferior” sebagai tumpuan untuk menggantungkan harapan. Akibatnya, gelombang urbanisasi semakin tidak terbendung sebab banyak dari mereka tergiur akan superioritas kota sebagai simbol peradaban.

Siapa sangka kehidupan kota yang katanya berperadaban tinggi memiliki sisi paradoksal yang seringkali luput dari pengamatan kita, bahkan warga kota sendiri. Individualisme sebagai ciri masyarakat urban serta pola interaksi yang lebih didasari oleh faktor kepentingan, telah berhasil membuat reduksi terhadap nilai kekerabatan sebagaimana tetap terpelihara dalam lingkungan masyarakat tradisional. 

Lahirnya sebuah kota bersamaan pula dengan terbentuknya alienasi di mana masyarakat hanya terhubung oleh satu kepentingan bernama survival (hlm. 36). Kepentingan mempertahankan kelangsungan hidup ini pada akhirnya membentuk suatu budaya hidup di mana orang-orang saling berkompetisi. Karena itu, masyarakat urban seringkali terasing antara satu sama lain sebab pola keakraban secara perlahan telah terkikis.

Kumpulan esai dalam buku ini lahir dari kejelian seorang Seno Gumira Ajidarma yang berhasil memotret sisi lain dari kehidupan masyarakat urban, dalam hal ini masyarakat kota Jakarta. Melalui tulisannya, Seno melakukan otokritik terhadap gaya hidup kebanyakan Homo Jakartensis yang terkesan asik dengan diri dan dunianya sendiri.

Tulisan yang berjudul Manusia Jakarta, Manusia Mobil (hlm. 21) misalnya, terselip sindiran Seno yang menyebutkan bahwa mobil adalah dunia ketiga setelah rumah sebagai dunia pertama, dan tempat kerja sebagai dunia kedua. Bagi orang Jakarta, mobil tidak hanya sekedar menjadi sarana transportasi, tetapi sekaligus menjadi dunia ketiga sebagai satu-satunya tempat di mana seseorang dapat bereksistensi menjadi dirinya sendiri, melakukan sesuatu yang bahkan tidak dapat dilakukan di dunia pertamanya.

Masih tentang manusia Jakarta dan mobil, sindiran senada juga muncul dalam Mengenal Orang Jakarta: Mungkinkah? (hlm. 85), yang mempertanyakan kembali pola interaksi sosial Homo Jakartensis. Dalam tulisan ini Seno secara telak memukul kita dengan pertanyaan apakah kita (Homo Jakartensis) telah benar-benar mengenal orang-orang di sekitar yang senantiasa berinteraksi dalam keseharian, seperti pembantu, sopir, dan teman kantor. Jika orang yang dekat saja tidak kita kenal dengan baik, lalu bagaimana mungkin untuk mengenal orang-orang yang hanya kita lihat dari balik jendela mobil saja?

Selain tema manusia Jakarta dengan individualistisnya, ada juga sindiran tentang minimnya kesadaran toleransi Homo Jakartensis saat berkendara seperti terdapat dalam tulisan berjudul Zebra Cross (hlm. 161). Zebra cross merupakan sarana lalulintas yang disediakan bagi pejalan kaki untuk menyeberang jalan, dan secara teori pengendara bermotor diwajibkan untuk mendahulukan mereka. Di negara-negara “tertib” hal ini adalah lumrah, tetapi tidak di Indonesia. Di negara ini pejalan kaki justru disambut dengan bunyi klakson sebagai ganti dari kalimat “jangan sembarangan menyeberang!” 

Dalam konteks Indonesia, otokritik seperti yang dilakukan Seno dalam buku ini sangatlah diperlukan mengingat cara pandang yang memposisikan kota sebagai “yang superior” dan desa sebagai “yang inferior” adalah jamak terjadi. Dengan sentilannya yang cerdas dan bernas, Seno telah membongkar dan mengungkap wajah lain dari kehidupan kota. Meski hampir keseluruhan isi buku ini berbicara tentang kehidupan Ibu Kota, buku yang terdiri dari 44 esai ini tetaplah menarik dan relevan untuk dibaca, karena mampu memberikan koreksi atas cara pandang konvensional kita terhadap kota secara umum. 

Shakespeare pernah berkata, “What is the city, but its people?”. Kota adalah cerminan dari para penghuninya. Kehidupan urban, yang pertumbuhannya memang dibentuk oleh pergulatan berbagai kepentingan dengan segala keamburadulan yang diakibatkannya, adalah lahan subur untuk memeriksa usaha memapankan peradaban dan membongkar mitosnya, agar kebudayaan bisa dilanjutkan (hlm. 14).

Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta dengan versi yang sudah diedit
Kunjungi juga: Pelatihan di Jogja

blogger templates | Make Money Online