Tuesday 22 March 2016

Resensiku: Sepenggal Cerita Pegiat Konservasi Hutan Indonesia


 Judul Buku: Sekolah di Atas Bukit
Editor: Andi F. Yahya dkk.
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: I, 2015
Tebal: 260 Halaman
ISBN: 978-602-03-1593-5

Dalam kurun waktu tiga dekade terakhir, Indonesia menorehkan catatan merah terkait pengelolaan hutan di mana hutan alam Indonesia mengalami kerusakan dan penurunan luas secara signifikan. Data kementrian kehutanan mencatat, laju deforestasi di Indonesia yang pada 1996 mencapai 1,97 hektar per tahun meningkat tajam pada kurun 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ironis tentunya mengingat Indonesia adalah salah satu negara yang ditahbiskan sebagai paru-paru dunia.
Kenyataan ini justru semakin diperparah dengan terjadinya kebakaran hutan pada 2014 dan 2015 lalu yang telah mengakibatkan rusaknya ratusan ribu hektar hutan di Sumatera dan Kalimantan. Padahal, hutan memiliki peran signifkan dalam meredam emisi gas rumah kaca yang menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim secara ekstrem di dunia.
Di Indonesia, penyebab terjadinya kerusakan hutan lebih sering diakibatkan oleh ulah manusia daripada faktor alam. Penyalahgunaan hak pengusahaan hutan (HPH) misalnya, yang berujung pada pembalakan hutan secara liar serta peralihan fungsi hutan untuk lahan perkebunan maupun pertambangan, mengakibatkan hilangnya sebagian besar lahan hutan di Indonesia.
Kumpulan tulisan dalam buku ini merupakan kisah para pegiat konservasi yang tergabung dalam The Nature Concervancy (TNC), suatu lembaga non-profit yang memiliki concern di bidang pelestarian lingkungan. Melalui buku ini, para “penjaga hutan” tersebut berbagi kisah perjuangan dan upaya mereka dalam menjaga keseimbangan ekosistem serta kelestarian hutan di Indonesia, dalam hal ini adalah hutan Berau, Kalimantan.
Sebagaimana cerita dari Siswadi misalnya, satu dari aktivis TNC yang berupaya mengusung semangat konservasi ke dalam lingkungan masyarakat Long Duhung dengan cara memberikan pendampingan perihal pengelolaan hutan (hlm. 82). Melalui program pendampingan tersebut, masyarakat diarahkan untuk menanam karet, buah-buahan, dan tanaman hutan lainnya di lahan-lahan kritis, sehingga pada saat yang bersamaan juga bermanfaat dalam membantu mingkatkan perekonomian mereka.
Sebagai buah dari upaya tersebut, masyarakat Long Duhung bersepakat untuk turut berpartisipasi dalam Program Karbon Hutan Berau (PKBH) yang memiliki misi untuk menurunkan jumlah emisi gas karbon, serta berkomitmen untuk menjaga hutan yang tersisa, mempertahankan dan memperbaiki kondisi hutan.
Selain kisah bertema pemberdayaan masyarakat lokal dalam pelestarian lingkungan, ada juga cerita dari Delon Marthinus dan Umbar Sujoko (aktivis TNC lainnya) yang berupaya memperkenalkan konsep Reduce Impact Logging-Carbon (RIL-C), kepada perusahaan pemilik HPH. Konsep yang dikembangkan oleh TNC ini, merupakan suatu teknik pembalakan “ramah lingkungan” yang disinyalir dapat mengurangi resiko kerusakan lingkungan akibat pembalakan.
Mereka berupaya untuk membuktikan kepada perusahaan pemilik HPH bahwa penerapan konsep RIL-C tidak hanya “ramah lingkungan” tetapi juga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi perusahaan (hlm. 175). Dengan penerapan konsep ini, perusahaan selanjutnya diharapkan dapat mengubah paradigma bisnis untuk lebih perduli pada lingkungan, dan bukan hanya berorientasi pada produk.
Dalam konteks Indonesia yang “darurat hutan” seperti sekarang, kehadiran buku ini merupakan berita gembira mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan perlunya menjaga kelestarian lingkungan. Di dalam buku ini, data-data statistik dikemas seperti halnya buku cerita sehingga menjadikannya sebagai pilihan tepat untuk memperkenalkan semangat konservasi kepada khalayak, khususnya generasi muda.
Menjaga kelangsungan hutan tidak hanya penting bagi kita, tetapi bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup di muka bumi. Rusaknya hutan tidak hanya dapat berdampak buruk pada perubahan iklim, tetapi juga dapat memusnahkan rumah bagi berbagai spesies flora dan fauna. Tanpa hutan, makhluk hidup tidak memiliki sumber oksigen, sumber air, bahkan makanan. Bumi tanpa hutan adalah bumi tanpa kehidupan (hlm. 168).

Tulisan ini dimuat pada media online Portal Satu, namun terdapat kesalahan dalam penulisan nama penulis. Source: http://portalsatu.com/read/budaya/sepenggal-cerita-pegiat-konservasi-hutan-indonesia-8475
Kunjungi juga: Pelatihan di Jogja

Thursday 11 February 2016

Resensiku: Memotret Sisi Lain Kehidupan Masyarakat Kota


Judul Buku: Tiada Ojek di Paris
Pengarang: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Mizan, Bandung 
Cetakan: I, April 2015 
Tebal: 212 Halaman
ISBN: 978-979-433-846-9

Dalam persepsi kebanyakan orang, kota identik dengan kemajuan dalam segala bidang baik sektor pendidikan, teknologi, ekonomi, maupun budayanya. Kota dengan segala kemajuannya menjadi destinasi utama bagi masyarakat rural “yang inferior” sebagai tumpuan untuk menggantungkan harapan. Akibatnya, gelombang urbanisasi semakin tidak terbendung sebab banyak dari mereka tergiur akan superioritas kota sebagai simbol peradaban.

Siapa sangka kehidupan kota yang katanya berperadaban tinggi memiliki sisi paradoksal yang seringkali luput dari pengamatan kita, bahkan warga kota sendiri. Individualisme sebagai ciri masyarakat urban serta pola interaksi yang lebih didasari oleh faktor kepentingan, telah berhasil membuat reduksi terhadap nilai kekerabatan sebagaimana tetap terpelihara dalam lingkungan masyarakat tradisional. 

Lahirnya sebuah kota bersamaan pula dengan terbentuknya alienasi di mana masyarakat hanya terhubung oleh satu kepentingan bernama survival (hlm. 36). Kepentingan mempertahankan kelangsungan hidup ini pada akhirnya membentuk suatu budaya hidup di mana orang-orang saling berkompetisi. Karena itu, masyarakat urban seringkali terasing antara satu sama lain sebab pola keakraban secara perlahan telah terkikis.

Kumpulan esai dalam buku ini lahir dari kejelian seorang Seno Gumira Ajidarma yang berhasil memotret sisi lain dari kehidupan masyarakat urban, dalam hal ini masyarakat kota Jakarta. Melalui tulisannya, Seno melakukan otokritik terhadap gaya hidup kebanyakan Homo Jakartensis yang terkesan asik dengan diri dan dunianya sendiri.

Tulisan yang berjudul Manusia Jakarta, Manusia Mobil (hlm. 21) misalnya, terselip sindiran Seno yang menyebutkan bahwa mobil adalah dunia ketiga setelah rumah sebagai dunia pertama, dan tempat kerja sebagai dunia kedua. Bagi orang Jakarta, mobil tidak hanya sekedar menjadi sarana transportasi, tetapi sekaligus menjadi dunia ketiga sebagai satu-satunya tempat di mana seseorang dapat bereksistensi menjadi dirinya sendiri, melakukan sesuatu yang bahkan tidak dapat dilakukan di dunia pertamanya.

Masih tentang manusia Jakarta dan mobil, sindiran senada juga muncul dalam Mengenal Orang Jakarta: Mungkinkah? (hlm. 85), yang mempertanyakan kembali pola interaksi sosial Homo Jakartensis. Dalam tulisan ini Seno secara telak memukul kita dengan pertanyaan apakah kita (Homo Jakartensis) telah benar-benar mengenal orang-orang di sekitar yang senantiasa berinteraksi dalam keseharian, seperti pembantu, sopir, dan teman kantor. Jika orang yang dekat saja tidak kita kenal dengan baik, lalu bagaimana mungkin untuk mengenal orang-orang yang hanya kita lihat dari balik jendela mobil saja?

Selain tema manusia Jakarta dengan individualistisnya, ada juga sindiran tentang minimnya kesadaran toleransi Homo Jakartensis saat berkendara seperti terdapat dalam tulisan berjudul Zebra Cross (hlm. 161). Zebra cross merupakan sarana lalulintas yang disediakan bagi pejalan kaki untuk menyeberang jalan, dan secara teori pengendara bermotor diwajibkan untuk mendahulukan mereka. Di negara-negara “tertib” hal ini adalah lumrah, tetapi tidak di Indonesia. Di negara ini pejalan kaki justru disambut dengan bunyi klakson sebagai ganti dari kalimat “jangan sembarangan menyeberang!” 

Dalam konteks Indonesia, otokritik seperti yang dilakukan Seno dalam buku ini sangatlah diperlukan mengingat cara pandang yang memposisikan kota sebagai “yang superior” dan desa sebagai “yang inferior” adalah jamak terjadi. Dengan sentilannya yang cerdas dan bernas, Seno telah membongkar dan mengungkap wajah lain dari kehidupan kota. Meski hampir keseluruhan isi buku ini berbicara tentang kehidupan Ibu Kota, buku yang terdiri dari 44 esai ini tetaplah menarik dan relevan untuk dibaca, karena mampu memberikan koreksi atas cara pandang konvensional kita terhadap kota secara umum. 

Shakespeare pernah berkata, “What is the city, but its people?”. Kota adalah cerminan dari para penghuninya. Kehidupan urban, yang pertumbuhannya memang dibentuk oleh pergulatan berbagai kepentingan dengan segala keamburadulan yang diakibatkannya, adalah lahan subur untuk memeriksa usaha memapankan peradaban dan membongkar mitosnya, agar kebudayaan bisa dilanjutkan (hlm. 14).

Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta dengan versi yang sudah diedit
Kunjungi juga: Pelatihan di Jogja

Thursday 28 January 2016

Resensiku: Latih Anak Gemar Membaca Sejak Bayi



Judul Buku: Membuat Anak Gila Membaca
Pengarang: Muhammad Fauzil Adhim
Penerbit: Pro-U Media, Yogyakarta 
Cetakan: 2015 
Tebal: 284 Halaman. 
ISBN: 978-678-7820-22-7


Aktivitas membaca seringkali terasa menjadi momok bagi sebagian besar anak, terlebih pada zaman sekarang ini, di mana keberadaan gadget hingga game online sangat mudah untuk diakses. Padahal standar pendidikan dan kelulusan sekolah yang berlaku di negara ini menuntut anak untuk giat belajar –yang tentunya sarat dengan kegiatan membaca. Kenyataan ini tak ayal membuat para orang tua berpikir ekstra bagaimana cara agar anak-anaknya gemar membaca.

Mohammad Fauzil Adhim, seorang sarjana psikologi sekaligus penulis buku ini, menjelaskan bahwa terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menjadikan anak keranjingan membaca. Ia menegaskan sebenarnya para orang tua dapat menanamkan sikap kecintaan terhadap membaca pada anak semenjak dini.

Langkah awal yang perlu dilakukan adalah dengan memberikan pengalaman membaca pada anak. Pengalaman membaca dapat diberikan semisal dengan metode membacakan buku pada anak semenjak bayi. Pada masa ini, setiap rangsangan komunikasi dapat memberikan pengaruh yang sangat besar kelak bagi keterampilan komunikasi  anak, termasuk di dalamnya kemampuan berbahasa dan berpikir. Selain itu, membacakan buku pada anak semenjak bayi juga dapat mendorong anak untuk menyukai membaca (hlm. 47).

Bayi menunjukkan ketertarikannya pada sesuatu dengan caranya sendiri –dalam konteks ini menjadikan buku sebagai mainannya. Umumnya, bayi akan menggigit setiap benda yang menarik perhatiannya dan memperlakukannya sebagai mainan yang menyenangkan. Karena itu, para orang tua tidak perlu merasa jengkel apabila buku yang kita berikan tidak berumur panjang. 

Selanjutnya, langkah kedua yang dapat dilakukan adalah merangsang anak untuk suka membaca sejak usia dua tahun. Penelitian menyebutkan bahwa 80 % perkembangan otak terjadi pada usia dua tahun pertama. Ada tiga kemampuan yang mencolok dalam perkembangan balita usia dua tahun, yaitu kemampuan berpikir, berkonsentrasi, dan berbahasa. Karena itu, akan sangat baik apabila para orang tua menggunakan momen ini dalam mengarahkan anak agar gemar membaca.

Metode yang dapat diterapkan oleh para orang tua dalam merangsang minat membaca anak adalah dengan  menggunakan alat belajar WPB (wordless picture book), yakni buku bergambar dan sedikit menyertakan kata. Buku jenis ini merupakan sarana belajar yang baik sebab warna-warni yang mencolok pada gambar dapat merangsang minat membaca sekaligus menggugah rasa ingin tahu anak. Melalui buku semacam ini, anak akan mengembangkan sikap positif terhadap kegiatan membaca. Anak akan menganggap membaca sebagai kegiatan menarik dan menyenangkan (hlm. 79).

Namun demikian, hal yang tidak kalah penting dalam upaya kita menanamkan sikap kecintaan membaca pada anak adalah contoh nyata dari orang tua. Anak belajar dari orang tua, salah satunya dengan meniru perbuatan yang biasa kita lakukan sehari-hari. Dalam psikologi hal ini diistilahkan dengan imprinting (mencetak). Anak-anak mencetak perilaku berdasarkan cetakannya, yakni orang tua (hlm. 166). Dalam hal ini, para orang tua dapat mengajak anak untuk membaca buku bersama-sama. Aktivitas ini juga bermanfaat untuk menciptakan kesan intim yang memupuk kecintaan anak untuk membaca.

Dalam konteks dewasa ini, buku bertema parenting ini kiranya cukup menarik dan bermanfaat untuk dibaca sebagai referensi dalam mendidik anak agar senang membaca. Buku setebal 284 halaman ini tidak hanya menyajikan metode untuk merangsang minat membaca tapi juga menyertakan metode mudah mengajarkan membaca, semisal metode yang dikembangkan oleh Glenn Doman yang konon efektif untuk melahirkan orang-orang jenius. Pesan penting yang dapat pembaca ambil dari buku ini adalah penanaman nilai “suka” sebagai yang utama.

Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta dengan versi yang sudah diedit
Kunjungi juga: Training di Yogyakarta

blogger templates | Make Money Online